Mohon tunggu...
Kastrat FIB UI
Kastrat FIB UI Mohon Tunggu... Ilmuwan - Departemen Kastrat BEM FIB UI 2015

Akun Kompasiana resmi\r\nDepartemen Kajian dan Aksi Strategis\r\nBEM FIB UI 2015\r\n#FIBHarmonis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kajian: Kasus Kekerasan Seksual oleh Sitok Srengenge

26 Oktober 2015   20:03 Diperbarui: 26 Oktober 2015   21:09 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun, pada bulan Maret 2013, Sitok menghubungi kembali RW yang kemudian komunikasi diantaranya kembali berlanjut. Hubungan saat itu adalah hubungan antara mahasiswa yang tengah menyelesaikan tugas dengan seorang tokoh besar yang terpandang dan dapat membantu memberikan informasi perihal tugas yang sedang dikerjakan. Kemudian Sitok mengundang RW datang ke Salihara untuk bertemu dengan teman Sitok perihal tugas yang sedang dikerjakan oleh RW. Namun yang sangat disesalkan, Sitok kemudian membawa RW ke kontrakan milik Sitok dan kemudian terjadi peristiwa perkosaan tersebut.

Perkembangan Kasus

Sitok sebagai pelaku pemerkosaan dapat dikenakan sebagai tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, berbunyi: “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karenan memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Berdasarkan pasal yang tertuang dalam KUHP tersebut, perkosaan dirumuskan secara hukum sebagai suatu tindakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap seorang perempuan (yang bukan istrinya), dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan yang dimaksud merujuk pada Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Menurut Pasal 89 KUHP, yang dapat disamakan dengan “melakukan kekerasan” adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya.

Selain Pasal 285 KUHP, penyidik juga dapat menerapkan Pasal 294 KUHP untuk menjerat Sitok Srengnge. Pasal ini mengatur mengenai adanya relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Rumusan Pasal 294 KUHP menyatakan bahwa: “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas, atau pesuruh dalam penjara, tempat melakukan pebuatan cabul dengan orangyang dimasukan ke dalamnya”. Unsur yang secara khusus dimiliki dalam perbuatan pidana pada Pasal 294 adalah adanya suatu hubungan tertentu antara pelaku dengan korban, kekerasan dan kontrol yang lebih tinggi yang dimiliki oleh pelaku. Faktor hubungan tersebut, kemudian ternyata disalah gunakan (Pelaku menyalah gunakan kedudukannya).

            Kedua pasal tersebut diterapkan dalam kasus ini. Namun, sejak kasus ini dilimpahkan pada Subdit Keamanan Negara, penanganan kasus ini menjadi terkesan lambat. Pada 16 September 2015, hasil follow up pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta adalah bahwa berkas kasus dikembalikan lagi ke Kepolisian karena ketidak lengkapan bukti pemeriksaan.

Budaya Patriarkis dan Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan bukanlah tindak kekerasan baru yang terjadi belakangan ini. Jika ditelisik dari sejarah, kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk kekerasan yang terjadi sejak zaman manusia primitif. Hal ini dibuktikan dengan tindakan memperlakukan perempuan sebagai objek penderitaan. Kekerasan terhadap perempuan dilakukan baik secara fisik, psikis maupun kekerasan verbal. Hal ini acap kali menjadi pemandangan umum dalam masyarakat kita saat ini. Seperti yang terjadi pada kasus kekerasan perempuan yang terhangat adalah kasus yang dilakukan oleh Sitok.

Pada dasarnya, kekerasan yang terjadi terhadap perempuan ini biasanya disebabkan oleh adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender di dalam masyarakat. Dengan adanya ketidakadilan gender ini, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk yang nyata dengan menempatkan perempuan dalam status lebih rendah daripada laki-laki, menyebabkan perempuan selalu berada dalam posisi sub-ordinasi. Hak istimewa laki-laki inilah yang menjadikan perempuan menjadi seperti barang milik laki-laki, yang bisa diperlakukan semaunya, termasuk dengan tindak kekerasan. Hal tersebut dalam dunia akademik, disebut sebagai budaya patriarki. Dengan demikian, salah satu sebab adanya tindak kekerasan terhadap perempuan adalah dominannya budaya patriarki dalam mempengaruhi nalar berpikir serta cara pandang sebagian masyarakat kita.

Patriarki adalah suatu sistem dimana adanya relasi yang timpang antara yang mendominasi dan yang didominasi, dimana yang mendominasi mengontrol yang didominasi. Biasanya ini berkenaan terhadap ekspresi gender dimana yang mendominasi adalah kaum-kaum maskulin (superior), sedangkan yang didominasi adalah kaum-kaum feminine (inferior). Jika diulas sedikit tentang sejarah penindasan masyarakat yang digoreskan Fredrick Angel dalam bukunya Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara maka dapat disimpulkan budaya patriarki ini muncul pada zaman peralihan. Lebih tepatnya ketika peralihan zaman paleolitikum dan zaman logam yang dimulai dari adanya aktivitas bercocok tanaman holtikultura yang dilakukan oleh perempuan, kemudian domestifikasi binatang buruan menjadi ternak hingga ditemukannya baja/logam yang dibuat menjadi bajak sehingga dapat mengelolah tanah lebih luas. Pembajakan ini dilakukan oleh laki-laki karena perempuan tidak bisa lagi mengkombinasikan pekerjaan memelihara anak dengan produksi pertanian. Hal lain yang melatarbelakangi kenapa perempuan tidak membajak karena proses evolusi tubuh perempuan yang berubah pada zaman holtikultura. Pembajak akan mendapat hasil yang banyak sehingga terjadi akumulasi modal dan menyebabkan surplus, dimana dengan jelas yang mendapatkan surplus adalah laki-laki sehingga muncul kepemilikan pribadi. Surplus ini yang memulai adanya budaya patriarki dimana perempuan mulai didomestifikasi dan hanya difungsikan sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan generasi yang nantinya akan dijadikan sebagai tenaga kerja. Dengan demikian, sejarah budaya patriarki sangat erat dengan perkembangan faktor produksi di dalam masyarakat.

Dalam dunia kapitalisme sekarang, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pihak pemilik modal atau perusahaan biasanya mempekerjakan buruh murah yang sebagian besar adalah kaum perempuan. Buruh perempuan ini digaji lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap bukan pencari nafkah yang utama dalam rumah tangga. Ironisnya lagi, saat perempuan menstruasi, hamil, melahirkan dan menyususi yang tiada lain merupakan kodrat alami bagi seorang perempuan malah dianggap tidak produktif dan pihak perusahaan berusaha melepas tanggung jawab terkait persoalan hak cuti bagi buruh perempuan. Akibatnya, upah kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki, sebab perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga. Dan bukan hanya itu, pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang sejatinya harus diselesaikan dengan seadil-adilnya melalui jalur hukum terkadang tidak menjadi fokus perhatian, malah cenderung diabaikan dan dianggap sebagai persoalan pribadi. Parahnya lagi, hal tersebut terkadang dianggap sebagai aib saat dihadirkan dalam ranah publik.

Dari beberapa fenomena di atas nampaknya perbedaan jenis kelamin masih menjadi paradigma dominan dalam melihat relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Biasanya, laki-laki ditempatkan dalam ranah publik, sedangkan perempuan selalu diidentikan dengan ranah privat. Dan, hal ini kemudian dikontruksi dalam pakem budaya patriarki sehingga melahirkan pola relasi kehidupan yang bias gender. Kita akui bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dengan laki-laki adalah kodrat Ilahiah yang tidak mungkin bisa dipungkiri. Tetapi,  dalam konsep analisis gender, dapat ditemui bahwa perbedaan tentang sifat, peran, posisi serta tanggung jawab perempuaan dan laki-laki yang didasarkan pada jenis kelamin merupakan hal yang diciptakan oleh masyarakat dan dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya, norma-norma atau tafsir agama, politik dan hukum yang berlaku. Sehingga hal tersebut dilihat bukan sesuatu yang lahir dari proses yang sifatnya alami, melainkan lahir dari kontruksi sosial masyarakat yang berjalan beriringan dengan siklus kehidupan manusia. Olehnya itu, sangat naif  kiranya jika faktor perbedaan jenis kelamin tersebut menjadi penyebab lahirnya diskiriminasi dan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Singkatnya, memang laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan berarti peran laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial harus pula dibeda-bedakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun