Mohon tunggu...
Kastrat FIB UI
Kastrat FIB UI Mohon Tunggu... Ilmuwan - Departemen Kastrat BEM FIB UI 2015

Akun Kompasiana resmi\r\nDepartemen Kajian dan Aksi Strategis\r\nBEM FIB UI 2015\r\n#FIBHarmonis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Kita, Bukan Kami

5 April 2015   13:13 Diperbarui: 17 Desember 2015   10:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mencuatnya kembali fenomena pelarangan dan pembatasan merokok akhir-akhir ini memunculkan beberapa tanda tanya besar. Banyak orang yang secara sepihak menuntut dan menyalahkan rokok sebagai suatu hal yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan selalu memberikan stigma negatif terhadap perokok, contohnya seperti anggapan bahwa perokok adalah orang egois karena menghamburkan uang yang seharusnya untuk keluarga dan mengancam kesehatan masyarakat demi kepuasan pribadi. Namun, saya merasa aneh karena alasan tersebut klise, hampir semua orang yang mengecam rokok mengatakan hal yang sama, mereka terlihat seolah-olah menentukan baik dan buruk suatu hal hanya dari opini yang diberikan orang lain tanpa mengetahui rokok itu sendiri. Sebelum membahas lebih lanjut pertama-tama saya ingin memberikan informasi jika rokok yang beredar di Indonesia ada dua jenis, yaitu rokok putih (rokok impor tanpa cengkih) dan kretek (rokok lokal dengan racikan cengkih dan rempah).

 

Tentu saja kedua jenis rokok tersebut berbeda jauh, bukan hanya dari cita rasa, tetapi juga dari efek yang di timbulkan. Rokok putih adalah rokok produksi Negara lain yang hanya menggunakan tembakau tanpa adanya herbal apapun karena memang mereka hanya mengetahui dan menganggap bahwa rokok ini adalah alat pemuas kebutuhan individu semata. Akan tetapi akhir-akhir ini banyak Negara yang mertifikasi perjanjian pembatasan produksi tembakau dan menyatakan sikap bahwa rokok sangat berbahaya karena berdasarkan survey dan penelitian mereka, rokok yang beredar di Negara mereka masing-masing dapat menyebabkan kanker.

 

Berbeda dengan rokok putih, kretek sendiri adalah rokok produksi lokal yang merupakan racikan antara tembakau dengan cengkih dan rempah-rempah hasil kekayaan Indonesia. Bagi masyarakat Indonesia sendiri penggunaan tembakau dan cengkih adalah hal yang sudah membudaya di masyarakat, bahkan sebelum adanya kretek itu sendiri dimana tembakau dan cengkih masih digunakan dalam kebiasaan meracik rempah yang ditaruh di daun sirih lalu dikunyah baik oleh pria maupun wanita. Seiring berjalannya waktu dan semakin membudayanya kebiasaan tersebut dimana semakin banyak orang yang melakukannya, kebiasaan tersebut dirasa kurang praktis dan meninggalkan banyak sampah. Oleh karena kebutuhan akan sesuatu yang lebih mudah dibawa kemana-mana dan hanya menyisakan sedikit sampah membuat lahirnya inovasi kretek pada awal abad ke-20. Karena kretek sangat praktis untuk dibawa kemana-mana dalam jumlah banyak menyebabkan kebiasaan menikmati tembakau dan cengkih ini bukan hanya sebagai pemuas kebutuhan individu semata, namun kebiasaan ini juga berkembang sebagai media sekaligus simbol untuk menjalin suatu pertemanan dan juga untuk menciptakan suasana kekeluargaan dalam suatu perbincangan.

 

Sehingga secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa kretek juga menjadi salah satu media yang mempersatukan antar elemen masyarakat dan membantu integrasi nasional sebelum kemerdekaan. Pada pertengahan abad ke-20 tertutama setelah Indonesia merdeka Indonesia mengalami baby boom atau pertumbuhan penduduk yang sangat luar biasa hingga hari ini, hal ini menunjukan bahwa kretek bukanlah penyebab utama kanker dan impotensi seperti apa yang selalu dituduhkan. Sehingga jika pada abad ke-21 ini isu kretek berbahaya kembali diangkat, sangatlah tidak bijak jika kretek yang memiliki hubungan historis dan kebudayaan dengan bangsa Indonesia ini dijadikan tumbal dan disamaratakan dengan rokok putih produksi asing yang memang terbukti berbahaya. Selain itu pada abad ke-21 ini, sebenarnya faktor utama yang mennyebabkan seseorang terkena kanker adalah lifestyle atau gaya hidup. Orang yang bukan perokok pun sangat memiliki potensi yang sangat besar untuk terkena kanker, terutama bagi masyarakat yang tinggal atau bekerja di kota besar seperti Jakarta yang memiliki gaya hidup tidak sehat seperti sering mengkonsumsi junkfood, tidak berolahraga secara teratur, tidur terlalu larut, menghirup banyak polusi, dan tingkat stress yang sangat tinggi. Sedangkan kebiasaan merokok hanyalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena kanker dan jika memang tujuan pelarangan merokok untuk kesehatan, seharusnya yang dilarang hanyalah rokok putih seperti Marlboro, Lucky Strike, dll.

 

Kemudian tentang stigma negatif bagi perokok seperti perokok adalah orang egois yang mengamburkan uang dan mengancam kesehatan masyarakat. Menanggapi penyataan tersebut pertama saya akan jelaskan tentang keadaan penduduk Indonesia dimana sebagian besar penduduk Indonesia berada di kelas ekonomi menegah kebawah, dan sebagian besar penduduk kelas ekonomi kebawah merupakan perokok. Bagaimanapun setiap manusia mempunya caranya masing-masing untuk menjaga dirinya jauh dari tekanan atau stress, seperti menyalurkan hobinya, menghabiskan waktu di tempat hiburan bersama teman, pergi dengan pasangan di akhir pekan, ataupun pergi ke pusat perbelanjaan bersama keluarganya. Sama dengan kegiatan-kegiatan tersebut, bagi masyarakat ekonomi kebawah rokok bukanlah hanya sebagai alat pemuas semata, lebih dari itu bersenda gurau sambil merokok bersama-sama setelah bekerja merupakan satu-satunya cara yang efektif dan terjangkau untuk melepaskan penat setelah bekerja dan juga untuk menghindari stress.

 

Tentang keadilan, seharusnya ketimbang pemerintah memikirkan tentang rencana pembatasan rokok, yang mana kebijakan tersebut kurang adil terhadap masyarakat mengah kebawah dan juga agama pun tidak melarangnya, lebih baik pemerintah memikirkan cara untuk menjalankan undang-undang yang sudah ditetapkan seperti merawat orang terlantar dan anak yatim, menjamin pendidikan dan pembangunan merata yang sudah jelas dampaknya semakin mensejahterkan masyarakat. Konstitusi kita sudah mengatur kadilan sosial dengan jelas. Pesan keagamaan kita jelas. Akan tetapi kesadaran sosial, kesadaran konstitusional dan kesadaran moral kita hanya berhenti di kesadaran saja. Kita hafal ayat-ayat tuhan, tapi hanya berhenti di hafalan dan tidak mengamalkannya. Di depan Tuhan saja kita munafik, apalagi sekedar di depan konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun