Istilah gig economy bukan lagi menjadi sesuatu yang asing di telinga masyarakat. Terobosan lapangan pekerjaan baru yang digadang-gadang mampu menekan angka kemiskinan itu kini digandrungi oleh para tenaga kerja. Gig economy menawarkan segala kemudahan dan fleksibilitas khususnya pada tenaga kerja usia produktif. Sebut saja seperti pengemudi ojek Online, fotografer, videografer, desainer grafis, dan pekerja gig lainnya.
Rabu (5/9/2023), Tim Kajian Departemen Kastrat BEM FEB UNAIR berdiskusi langsung bersama Dr. Lanny Ramli, S.H., M.Hum. Praktisi Hukum Ketenagakerjaan sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga untuk mengupas tuntas lebih dalam mengenai gig economy.
Fleksibilitas Gig Economy
Dalam perbincangannya, Lanny menyebutkan bahwa gig economy sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sebelum kondang dengan nama gig economy, masyarakat telah mengenal istilah ekonomi swapekerja. Ekonomi swapekerja merupakan suatu sistem yang terdiri atas orang-orang (pekerja) yang memiliki kemampuan dalam bidang tertentu dan menawarkan jasanya kepada pihak-pihak membutuhkan yang berdasarkan pada perjanjian tertentu.
Dengan struktur masyarakat Indonesia yang cukup kompleks dan beragam, bonus demografi menyebabkan tenaga kerja usia produktif menjadi cukup masif. Tenaga kerja usia produktif memiliki kultur tersendiri dalam bersikap, seperti  lebih menyukai tipe pekerjaan yang menyenangkan, tidak memiliki peraturan yang berbelit, hingga tempat kerja yang fleksibel, tetapi menawarkan bayaran yang memuaskan. Akhirnya, gig economy seringkali dijadikan sebagai alternatif pilihan pekerjaan.
"Gig economy ini bisa dikatakan lebih baik daripada pekerjaan konvensional yang cenderung kaku dan banyak aturan," ujar Lanny.
Tantangan Hukum Pelaku Gig Economy
Banyak masyarakat yang menganggap jika menjadi pekerja gig merupakan sebuah pilihan yang menyenangkan. Segala kilau kemudahan, fleksibilitas, dan efektivitas yang ditawarkan oleh gig economy tanpa sadar telah membuat para pelakunya justru tidak melihat atas segala permasalahan yang terjadi. Lanny bahkan menyebutkan bahwa tidak semua jenis pekerjaan dalam gig economy mendapatkan payung hukum yang pasti.
Memang, bagi para pekerja gig yang memiliki jam kerja pasti -- Umumnya memiliki afiliasi dengan perusahaan tertentu -- masih dapat terlindungi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi, bagi pekerja gig yang bekerja sendiri tanpa berafiliasi dengan perusahaan manapun, akan menjadi sulit untuk memberikan payung hukum yang sempurna.
"Untuk pekerja kreatif, yang menawarkan jasanya kepada beberapa pihak atau perusahaan, mau tidak mau harus melindungi dirinya sendiri," tukasnya.
Tarik Ulur Upah Minimum Pekerja Gig