Mohon tunggu...
tireehh
tireehh Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Revolusi atau Demokrasi Pancasila

12 April 2015   19:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:12 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI ATAU DEMOKRASI PANCASILA

Revolusi Perancis 1789, yang muncul dengan semboyan “kemerdekaan, persamaan persaudaraan”, tetapi melaksanakan di dalam praktek hidup sesudah itu kebebasan menindas, ketidaksamaan dan pertentangan serta kebebasan untyk hidup miskin dan melarat? Apa yang kita alami di Indonesia sehari-hari sekitar kita, merupakan seolah-olah Pancasila itu diamalkan di bibir saja, tidak menjadi pelita di dalam hati untuk membangun masyarakat baru. Tiap-tiap golongan berkejar-kejar mencari rezeki. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Dalam teori kita menganut kolektivisme, dalam praktek dan perbuatan memperkuat individualisme.

Dalam teori kita membela demokrasi sosial, dalam praktek dan perbuatan menghidupkan semangat demokrasi liberal. Partai yang pada hakekatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasai tanggungjawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, partai itu dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya. Dengan itu dilupakan, bahwa adalah imoril dan bertentangan dengan pancasila, istimewa dengan dasar Ketuhanan Yang Maha-Esa, apabila rakyat dirugikan untuk kepentingan partai, yaitu golongan.

Juga dalam hal menempatkan pegawai pada jabatan umum di dalam dan di luar negeri seringkali keanggotan partai menjadi ukuran, bukan dasar the right man in the right place. Pegawai yang tidak berpartai atau partainya duduk di bangku oposisi merasa kehilangan pegangan dan menjadi patah hati. Ini merusak ketentraman jiwa bekerja, menunda orang ke jalan curang dan korupsi mental. Aturan memperkuat budi pekerti, karakter pegawai, dengan politik kepartaian itu orang menghidupkan yang sebaliknya, mengasuh orang luntur karakter. Akhirnya, orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan.

Melihat perkembangan keadaan dalam negara dan masyarakat dalam masa yang akhri ini, kita memperoleh kesan, bahwa sesudah terlaksana Indonesia Merdeka dengan kurban yang tidak sedikit, pemimpin dan pejuang idealis tertunda ke belakang, politik dan ekonomi serta manusia profitir maju ke muka. Segala pergerakan dan semboyan nasioal diperalatkan mereka, partai politik ditungganginya, untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarchi dalam politik dan ekonomi. Kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela.

Petikan ini diambil dari pidato Hatta yang disampaikan di Universitas Gajah Mada pada 27 November 1956, beberapa hari sebelum dia mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Dari beberapa kutipan yang diambil sedikit menhyerempet dengan kondisi Indonesia sekarang ini yang di pimpin oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Dimana-mana sekarang orang merasa tidak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang di cita-citakan masih jauh saja. Demikian besarnya pertentangan antara kenyataan dan harapan, sehingga jiwa yang gusar tidak melihat lagi pembangunan-pembangunan yang benar-benar dijalankan dan memberikan hasil yang positif.

Joba dilihat lagi dengan kondisi Indonesia sekarang ini. Hampir secara tidak langsung keadaan saat ini sama dengan kadaan saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Yang memperlihatkan pertentangan antara idealism dan realita. Idealism, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya.

Realita daripada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Presiden, yang menurut Undang-undang Dasar tahun 1950 adalah presiden konstitusionil yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu-gugat, mengingat dirinya sendiri menjadi formatir cabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab dengan tiada memikul tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima begitu saja oleh parlemen dengan tiada menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil “keadaan merdeka”.

Presiden Soekarno mendasarkan segala tindakannya itu atas pendapat, bahwa revolusi Indonesia untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur belum selesai. Sebelum tercapai Indonesia yang adil dam makmur, revolusi masih berjalan terus dan segala susunan yang ada itu bersifat sementara. Ia, katanya, tidak menentang demokrasi, malahan menuju demokrasi yang sebenarnya, yaitu demokrasi gotong-royong seperti yang terdapat dalam masyarakat Indonesia yang asli. Ia mencela demokrasi cara Barat yang berdasarkan free fight, hantam-menghantam, yang sebegitu jauh dipraktekkan di Indonesia. Free fight democracy ini menimbulkan perpecahan nasional, sehingga usaha-usaha pembangunan jadi terlantar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun