Sebelum kita memulai suatu aktivitas mari sama-sama membaca basmalah dengan hati yang tulus dan ikhlas semata-mata hanya ditujukan untuk Tuhan. Beberapa hari ini sedang marak perbincangan mengenai sikap yang dilontarkan oleh gus miftah kepada pedagang es teh sewaktu membawakan pengajian, banyak yang menyayangkan hal tersebut terjadi bahkan banyak yang menghujat gus mifta dan membela pedagang es teh. Berikut perkataan gus miftah " Es Teh kamu masih banyak atau Tidak? Masih, ya sana dijual gob**k". Mungkin hal tersebut dilontarkan gus miftah hanya diangkap sebagai dirty joke, buktinya rata-rata yang ikut pengajian tersebut banyak yang ketawa riang dan tetap melanjutkan pengajian. Namun, selepas pengajian tersebut, video mengenai dirty joke tersebut tersebar luas di sosial media yang merupakan ruang publik yang dapat mengundang banyak multiinterpretasi, sintimen negatif, bahkan penghujatan demi penghujatan.
Saya tidak menyalahkan siapapun bahkan netizen dalam berargumentasi di ruang sosial media yang notabene merupakan ruang publik, tetapi yang saya sayangkan kurang cermat dalam menganalisis fenomena yang terjadi tersebut dan berfikir secara simplifikasi tanpa mencari akar permasalahannya seperti apa. Ya, mungkin nitizen sebagai pengkritik tanpa batasan juga gak salah karena mengkritik sesuai dengan fakta yang tampil di video tersebut tetapi ada ruang atau dimensi yang perlu dikaji secara mendalam mengenai kejadian tersebut. Penulis berpendapat dan membangun hipotesa dalam menganalisis kejadian tersebut dengan komprehensif dan terstruktur secara akal sehat. Berdasarkan dasar hukum logika jika a maka a (hukum identitas), jika a maka a- (hukum kontradiksi), jika a maka tidak mukngkin a dan a- di waktu yang bersamaan pasti salah satunya (sanggahan). Hukum kontradiksi salah satu jalur alternatif dalam melakukan pemecahan masalah tersebut. Mari coba kita analisis. Gus miftah diberi amanah dalam pengajian yang notabenenya membawakan hikmah, kedamaian, dan ketenangan sebagai perpanjangan tangan Tuhan, namun di dalam pengajian tersebut dia secara tidak sadar melontarkan diksi kata yang konotasinya sangat buruk ketika dilontarkan karena dapat menghina harkat martabat manusia. Penghinaan tersebut justru menstimulan para masyarakat maya tentang kebenaran karena secara common sense sudah tertanaman di dalam alam bawah sadar manusia sehingga outcomenya bahsanya itu tidak benar. Muncullah para nitizen, para donatur, dan orang dermawan yang ingin membantu pedagang es teh tersebut dalam bentuk uang, umroh, dll. Apakah ini adalah keberkahan dari Tuhan???
Mungkin cara Tuhan dalam membantu pedagang Es Teh tersebut melalui mulut kotor Gus Miftah sehingga para dermawan saling bergerak dan memancarkan fitrohnya secara mahluk sosial yang berakal dan mungkin juga melalui pedagang es teh, gus miftah ditegur oleh Tuhan melalui mulut-mulut jahat masyarakat maya (netizen) untuk berhati-hati dan menjaga adab ketika di ruang publik. Saya tidak akan membenarkan analisis tersebut secara 100% karena itu hanya hipotesa tetapi ada yang lebih penting dari hal tersebut yaitu mengenai adab, etika, dan sopan santun yang perlu diimprove sehingga menciptkan suasana keberdamaian. Menurut imam Syafi'I bahwa perlu mendahulukan adab sebelum ilmu, di dalam adab sudah tentu ada ilmu dan di dalam Ilmu belum tentu ada adab. Mungkin kita harus kembali merefleksikan apakah sikap kita sudah benar atau salah atau hanya merupakan dekadensi.
Mari kita mengulas kembali lagi akar permasalahannya. Pertama bagi para penyelenggara pengajian sekiranya perlu melakukan penertiban, memplot secara terstruktur dan memberikan pengarahan tempat untuk pedagang kaki lima serta memberikan aturan bahwasanya ketika pengajian berlangsung tidak diperkenankan berjualan makanan dan minuman atau proses traksansi lainnya dalam bentuk apapun di dalam area pengajian, jika terjadi pelanggaran maka pihak penyelenggara berhak untuk menegur atau mengeluarkan dalam tempat pengajian. Tetapi hal tersebut sulit terjadi karena masih banyak oknum yang tidak ingin membenarkan.
Kedua, bagi para pedagang harus tahu diri dan memposisikan dirinya bahwasanya tempat yang dijadikan sebagai tempat menjual itu untuk para peserta pengajian, jika ingin menjual sekiranya di luar tempat tersebut atau di sekitar pengajian sehingga tidak mengganggu kefokusan pencerama dan peserta dalam menyerap ilmu. Ketiga, bagi para pencerama sekiranya fokus dalam memberikan pengajian sesuai tema dan konteks yang diberikan serta jangan pernah menggunakan dirty jokes yang mengarah ke individu karena dapat melukai hati. Masyarakat harus sadar bahwa di era digital ini merupakan era keterbukaan sehingga perlu hati-hati dalam melakukan suatu tindakan. Terakhir bagi nitizen sekiranya cermat dalam menganalisis situasi dan fenomena yang terjadi dan perlu kita membuka pikiran dengan akal sehat, kita boleh bersimpati kepada salah satu orang tetapi kita tidak boleh melakukan penghujatan secara berlebihan karena itu tidak ada bedanya dengan orang yang dihujat dan menghujat. Seperti yang tertulis dalam lauh mahfudz Tuhan yang kita kenal sebagai ayat pertama turun yang mengajarkan hikmah dan proses dalam mengimplementasikannya yaitu Iqro Bismirabbikalladzi Kholaq. Tuhan telah mengajarkan manusia untuk membaca fenomena secara menyeluruh dan komprehensif akal sehat dan diputuskan oleh hati yang bersih dan iklas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H