Mohon tunggu...
kasnadi st
kasnadi st Mohon Tunggu... -

hobby baca kompasiana karena punya sudut pandang menarik dan unik terhadap berita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rukun Tetangga, Masihkan Diperlukan?

17 Januari 2012   16:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Studi kasus di sebuah kampung Kecamatan Ngaliyan, pinggiran Kota Semarang

Tulisan ini adalah pengalaman penulis sebagai salah seorang pengurus RT dari tahun 2002 sampai 2012 mulai dari sebagai bendahara sampai sekretaris, (belum mau jadi ketua RT karena merasa belum mampu tapi pernah menjabat sementara sebagai Ketua, sekretaris dan sekaligus bendahara selama 3 bulan karena dua yang pertama mengundurkan diri dan ternyata lebih banyak senang nya tidak jadi ketua RT).

Jabatan pengurus RT tidak seperti menjadi pejabat di pemerintahan seperti menjadi Bupati, Walikota, Gubernur atau bahkan Presiden. Menjadi Pengurus RT apalagi sebagai Ketua dituntut untuk benar-benar bekerja, bekerja dan bekerja (meminjam istilah PaK Dahlan Iskan, ketika menjadi Dirut PLN). Ketua RT harus siap bekerja melayani baik warganya sendiri (ditandai dengan memiliki KK dan KTP setempat) maupun yang bukan warganya (punya KTP tapi bukan setempat, biasanya orang kontrakan atau kost).

Menjadi pejabat negara mendapatkan gaji tinggi, fasilitas jabatan yang dijamin negara dan tunjangan yang lebih dari cukup.Sebaliknya pengurus apalagi Ketua RT tidak mendapatkan gaji bahkan harus sering-sering tekor jika tiba-tiba di kampung ada acara bersama semacam agustusan, halal bihalal, kerja bakti dan seterusnya. Khusus di Kota Semarang setiap tahun penulis mendapatkan bingkisan lebaran dari Walikota berupa minyak goreng, sirup, snack, susu kaleng ala kadarnya (khusus untuk Ketua RT, sekretaris dan bendahara).

Perbedaan yang sangat mencolok adalah kedudukan pejabat negara menjadi barang rebutan semua orang (kadang-kadang sampai menghalalkan semua cara) sedangkan jabatan ketua RT hampir pasti dihindari semua orang seperti yang pernah penulis alami ketika menjadi ketua KPU-RT (baca: Komisi Pemilihan Umum RT). Hampir semua warga menolak untuk dijadikan sebagai calon Ketua dalam PILKARET (baca= Pemilihan Ketua RT). Baru dicalonkan sudah menolak apalagi kalau terpilih?

Menurut hemat penulis, organisasi RT adalah miniatur negara dan rakyatnya. Kesejahteraan warga RT akan terjamin jika semua warga RT kompak bersama menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga RT. Mulai dari kewajiban mengikuti kegiatan PosKamLing, mengikuti kerja bakti dan hak untuk mendapatkan pelayanan dari pengurus (biasanya dalam surat menyurat, pengurusan KTP dll).

Namun yang terjadi adalah sering timbul persoalan menyangkut tidak tertib nya warga yang tidak melaksanakan kewajibannya namun menuntut hak nya sebagai warga RT untuk dipenuhi. Sebagai contoh ketika pindah alamat tidak memberitahukan ke pengurus namun begitu ada program BLT (Bantuan Langsung Tunai) tidak kebagian lalu protes ke pengurus? Ketika mendapatkan giliran sikamling tidak ikut jaga namun ketika tiba-tiba ada pencurian di rumahnya langsung melapor ke pengurus? (Kasihan sekali seksi keamanan, sudah tidak mendapatkan bingkisan lebaran tapi sering mendapatkan keluhan keamanan!)

Ketika sedang ramai-ramainya issu terorisme, RT mendapatkan sorotan paling banyak mengingat begitu mudahnya mendapatkan KTP dan berdomosili di suatu tempat tanpa harus melapor ke RT, apalagi kelurahan atau kecamatan setempat.Penulis sering mendapatkan kasus adanya warga mendapatkan KTP baru tanpa melalui RT tapi melalui oknum di kelurahan dengan membayar sejumlah uang. (Apakah ini sudah termasuk korupsi?). Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena ketika RT berusaha untuk menjalankan perannya sebagai kepanjangan tangan pemerintah namun diatas RT (kelurahan) justru melangganya sendiri.

Kepengurusan RT di kampung yang relatif kecil adalah gambaran keadaan pemerintahan yang mencakup pemerintahan kota bahkan negara. RT adalah ujung tombak pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. Kebijaksaanaan pemerintah yang baik bisa terlaksana dengan baik jika di tingkat RT juga mampu melakanakannya dengan baik.

Di kampung penulis setiap kali ada Pemilihan Umum pemilu legislatif maupun Pimilukada pasti RT ikut sibuk mulai dari pelaksanaan kampanye sampai ke pencoblosan. Hampir semua calon legislatif maupun calon Presiden (atau gubernur/walikota) ramai-ramai merebut simpati dari warga RT untuk mendapatkan suaranya. Namun begitu terpilih mereka dengan cepat melupakannya.

Begitu juga ketika ada presiden datang berkunjung ke Pemkot, tiba-tiba ada instruksi dari kelurahan untuk mengibarkan bendera merah putih dan sekaligus menghias kampung dengan umbul-umbul. (Meskipun rombongan Presiden sama sekali tidak lewat kampung).

Apakah hanya sampai di situ peranan RT? Kiranya tidak demikian. Peranan RT tetap penting sepanjang negara dan rakyatnya masih ada. Mengingat RT adalah kepanjangan dari Rukun Tetangga maka dasar diadakannya RT adalah supaya terbina kerukunan di antara tetangga, baru kemudian ada RW (baca: Rukun Warga) terus meningkat ke Kelurahan, kecamatan dan seterusnya.

Salam Kompasiana.

(Penulis adalah sekretaris RT dan mantan bendahara serta mantan pejabat sementara Ketua RT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun