Salah Sangka "Ranking kamu berapa?" adalah pertanyaan mengerikan bagi anak-anak yang tidak pandai di mata pelajaran dan pertanyaan yang dinanti bagi anak yang memang pandai. Saya tidak mempermasalahkan respon kedua contoh anak ini melainkan saya mempermasalahkan dasar pertanyaan "ranking kamu berapa" yang menurut saya adalah sebuah salah sangka.Â
Iya.. salah sangka yang selalu kita anggap benar bahwa kepintaran anak adalah alasan anak itu sukses nantinya atau juga salah sangka bahwa pendidikan adalah proses popularitas bagi orang tua. Bayangkan betapa kejamnya kita sebagai orang tua, tante, om dan kerabat lainnya sampai melebelkan bahwa sisa hidup anak tergantung dengan setinggi apa rengking yang dia dapat selama 12 tahun sekolahnya serta seberapa keren sekolahnya, maka mari kita menelisik sedikit mengenai trend pendidikan, pendidikan itu sendiri dan keterkaitannya dengan kesuksesan.
Dalam sejarahnya pendidikan memang selalu berubah-ubah dari zaman yunani (900 SM) sampai sekarang, zaman modern. Anehnya dari toko pyhtagoras sampai Allan Schneitz di abad kita sekarang ini, pendidikan selalu berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa[1] maka walaupun zaman berubah tapi unsur kebangsaan dalam pendidikan tidak berubah tapi ada hal yang unik ketika kita melihat trend pendidikan sekarang ini terkhusus di Indonesia. trend bangsa kita dari zaman kerajaan sampai demokrasi ini memang berubah perlahan kearah yang lebih baik buktinya demokrasi kita dihiasi dengan karya-karya disegala aspek baik dari sisi pendidikan, informasi sampai teknologi tidak luput pekerjaanpun semakin beragam namun sayangnya pendidikan masih dianggap hak istimewa bagi beberapa penduduk yang mampu untuk mereka yang tidak mampu, pendidikan bukanlah haknya. Kembali pendidikan selalu berkaitan dengan stratak sosial.Â
Sehingga sekolah dan posisi dideretkan dalam nilai. Semakin bawah nilai maka itu adalah sekolah bawahan dan yang mengisipun bawahan begitulah fenomena yang sempat difilmkan dalam film laskar pelangi dan diberitakan di media beberapa tahun terakhir mengenai perebutan sekolah favorite dan kosongnya bangku disekolah non-favorite. Bukan hanya sekolah, Orang tua di era modernpun tidak luput dari rasa persaingan ini, anak mereka dijadikan alat untuk "adu gengsi". Anak yang belum cukup umur untuk mendapat pendidikan harus dipaksakan untuk masuk kelas dan duduk mengikuti kelas pra sekolah atau paud dan lain sebagainya, anak dituntut untuk punya tanggung jawab renking di saat dia mungkin tidak menyukai mata pelajarannya, setelah belajar berjam-jam, anakpun harus duduk di dalam kelas kursus atau tambahan dari kelas balet sampai kursus matematika.Â
Ketika dia besar, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa jurusan atau langkah hidup selanjutnya masih harus ditetapkan oleh orang tua karena dari awal anak tidaklah diajarkan mandiri dan percaya diri. Anak memang produk orang tua tapi bukan berarti bahwa orang tua yang harus menguasai hidupnya. Lalu bagaimana dengan orang tua yang tidak mampu?. Buntuh jawabannya, data dari penelitian UGM[2] bahwa 47,3% Â anak tidak melanjutkan sekolah sedangkan ketika ditanya mengenai keinginan untuk melanjutkan sekolah 93,9% menjawab ingin namun keinginan harus ditelan mentah-mentah yang disebabkan faktor kebuntuan entah dari presepsi mengenai faktor ekonomi yang tidak menentu atau juga faktor lingkungan. Ini adalah kondisi biasa yang sering kita temui yang tidak lain adalah salah sangka.
Sangkaan yang sesuai adalah pemahaman bersama bahwa pendidikan adalah proses perubahan pola pikir dan kesadaran. Pola pikir adalah suatu kepercayaan yang mempengaruhi sikap dan perilaku kita. Sehingga, Perubahan pola pikirlah yang membawa kita pada perubahan seperti; yang tadinya tidak tau menjadi tau, yang tidak bida menjadi bisa, yang tidak mungkin menjadi mungkin dan yang dulu menjadi sekarang dan masa depan. Artinya proses perubahan cara kita berfikirlah salah satu inti kenapa pendidikan ada atau pendidikan itu sendiri. Sebutkan saja pendidikan mana yang tidak membawa kita pada keheranan dan akhirnya mengubah pandangan kita pada sesuatu dan terciptalah masa depan yang lebih baik. Kalaulah kita masih saja terjebak pada kepercayaan lama dalam kehidupan maka percuma saja kita berpendidikan.
 Kepercayaan atau pola pikir yang dimaksud sebagai hasil pendidikan adalah motivasi dan produktivitas[3].  Pola pikir awal yang ada di kehidupan kita adalah pemikiran bahwa yang saat ini adalah yang akan menyelesaikan masalah kehidupan sampai nanti mati tanpa usaha. Betapa banyak orang yang berfikir seperti ini?. Mempercayai bahwa ketika dia pintar waktu SD akan membawa dia sukses sampai mati tanpa kerja keras, pengembangan diri dan dedikasi, mempercayai bahwa ketika dia hidup santai saja dia akan santai sampai mati tanpa susah, bahwa talenta saja yang akan membawa dia sukses tanpa pengasahan dan pengembangan talenta.Â
Banyak sekali orang bahkan bangsa yang mempercayai hal ini yang dalam penelitian disebut A fixed mindset[4]. Lawan dari A fixed mindset adalah a growth mindset atau pola pikir pertumbuhan artinya apa yang ada sekarang ini hanya modal dasar yang harus di kelola dengan kerja keras dan dedikasi yang akan senantiasa memotivasi dan berkinerja dalam kehidupannya. Maka, pendidikan merupakan proses perubahan pola pikir yang mestinya mendorong orang untuk bekerja keras dalam pengembangan diri dan tentu menghasilkan karya bukan menghasilkan rengking yang tidak ada efek sama sekali dalam kehidupan masyarakat apalagi menaikkan gengsi orang tua.
 Poin kedua dari pendidikan adalah kesadaran. Pendidikan yang baik akan menyadarkan manusia bahwa dia adalah mahluk agung dari semua mahluk hidup (hewan dan tumbuhan) yang memiliki tanggung jawab penuh untuk mengubah dunia ini kearah yang lebih baik, maka tidaklah heran pendidikan yang baik selalu menghasilkan alternative --alternatif  dalam hidup misal cara berkomunikasi antar manusia dari surat kertas menjadi sekali klik layar smartphone bahkan pencarian planet baru untuk ditempati manusia.Â
Artinya mereka sudah menyadari bahwa kehidupan ini statis dan selalu bisa di ubah dalam genggaman manusia dan tentunya manusialah penanggung jawabnya. Pendidikan yang menyadarkan akan menghasilkan manusia-manusia creative dalam kehidupan serta bijak maka sudahlah kita tahu kenapa jepang, Amerika dan Negara di eropa berhasil dalam aspek teknologi modennya karena anak-anak dari dini sudah disadarkan bahwa mereka adalah manusia yang arti filosofi darinya (human) mahluk yang berpengetahuan, bertanggung jawab, dan bersosialisasi[5]. Kalau dalam pengertian seorang filsuf Indonesia artinya mahluk yang dapat mengetahui alamnya, dan dapat menguasai kekuatan alam dalam maupun luar dirinya[6]. Â Renungkan kembali apakah pendidikan kita membawa bangsa ini kearah menjadi manusia seutuhnya atau menjadi terombang-ambing di pergolakan manusia modern lainnya? Dan apakah sukses yang dipandang dalam pendidikan berorientasi pada perubahan kehidupan yang lebih baik atau lebih buruk?.
Hal yang tidak kalah menarik adalah kesalah-sangkaan masyarakat mengenai sukses yang kemudian dihubungkan dengan pendidikan yang menganggap bahwa pendidikan baik akan selalu membawa kesuksesan hidup. Memang benar presentase manusia sukses didunia banyak dihasilkan melalui proses pendidikan resmi namun ada hal lain yang menentukan kesuksesan. mari kita lihat unsur yang mempengaruhi  sukses itu sendiri yang digolongkan dalam lima yakni kecerdasan intelektual (IQ) yang menjelaskan seberapa bisa seseorang berfikir logis kemampuan ini lebih ke penalaran , kecerdasan emosi (EQ) yang merupakan kemampuan mengendalikan emosi terbukti dengan berempati, adaptasi sosial, ketekunan, kesetiakawanan dan kemampuan menyesuaikan diri,  Kecerdasan kreativitas (CQ) artinya kecerdasan memproduksi banyak ide-ide baru dan orisinal yang dapat diciptakan secara sistematis,  kecerdasan spiritual (SQ) yang dimana seseorang dapat mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai sehingga dalam kehidupannya dia akan memiliki prinsip keseragaman dalam keanekaragaman, prinsip keadilan dan memaknai segala proses kehidupan,  dan kecerdasan bertahan dalam kesulitan (AQ) orang-orang yang memiliki kemampuan AQ akan mampu menghadapi kesulitan hidup (kemampuan ini memiliki tingkatan yakni; Quitters untuk orang yang berhenti ketika mendapat kesulitan hidup.