Mohon tunggu...
Kasman Renyaan
Kasman Renyaan Mohon Tunggu... Administrasi - Peminat Sejarah

Anak pesisir pencinta sejarah dan budaya. Mencari ketenangan batin dengan menulis lepas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lawan Plagiator: Protes untuk Sang Penciplak

28 September 2016   01:57 Diperbarui: 28 September 2016   19:57 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stop Plagiat. Inilah kalimat pembuka yang akan disampaikan pada tulisan ini. Berawal dari keresahan dan kegelisahan batin saya, saat membaca karya hasil riset saya diciplak. Jiwa dan batin ini, seakan terguncang. Bibir pun berkata, itu milik saya. Namun apalah daya, semua telah terlanjur. Mungkin juga dianggap waktu (keberatan) telah berlalu. Karena itu, mereka tak hendak bertanggungjawab, dan tak ada balasan ketika surat keberatan (melalui e-mail) dilayangkan.

 Seakan tak ingin tahu, dan tidak tahu apa-apa. Mengganggap apa yang mereka lakukan itu, benar hingga protes tak digubris. Apapun alasannya, mengambil hak milik orang lain tampa seizin pemiliknya adalah perbuatan terlarang alias mencuri. Tindakan mencuri dalam pandangan agama manapun sangat dilarang, juga mendatangkan dosa dan petaka. Melangar norma agama dan hukum normatif. Inilah deretan kisah protes saya, terhadap media cetak ternama di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, yang sengaja mengcopi paste tulisan saya, dan masukannya di dalam opini harian mereka dan dengan sengaja menghilangkan nama saya;

Bersama ini, saya mengajukan keberatan dan gugatan, terhadap tulisan saya yang pernah dimuat di Harian Kendari Pos, kolom Budaya, Halaman 2, pada Minggu 18 Agustus 2013, berjudul “Pikadawu, Tradisi Menangkal Penyakit.” Publikasi tulisan itu, dianggap merugikan saya sebagai penulis aslinya. Mungkin bagi pimpinan redaksi, tulisan itu telah lewat ambang batas, alias waktu yang telah lama berlalu dan baru mengajukan keberatan sekarang? Bila pertanyaan itu ada, saya akan menjawab, mengetahuinya ketika membuka Google mencari judul terkait itu. Tetapi, apapun alasannya, itulah sejarah. Dan sejarah yang pernah dibuat di harian ini merupakan sejarah yang salah, juga keliru, sehingga dipandang pelru untuk dibenarkan. Agar harian ternama ini, tidak kehilangan kepercayaan public. Khususnya pembaca setia Koran Kendari Pos.

Di satu sisi, saya senang membacanya, karena buah pikiran saya, ternyata dapat menjumpai pembaca di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Akan tetapi, disisi lain saya juga kesal, dirugikan, setelah menbacanya tuntas isi tulisan itu. Pasalnya, tidak ada nama saya di dalam isi tulisan. Mengutip itu boleh, asal mencantumkan nama sumbernya. Inilah prinsip ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Namun, yang terjadi pada tulisan itu, bukan lagi mengutip, tetapi menciplak. Oknum wartawannya, yang memuat (mempublikasikan) isi tulisan itu, tidak menerapkan prinsip kejujuran dan mempraktekan perbuatan melangar hukum UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Hak Cipta. Apakah ini yang disebut prinsip etika Jurnalis? Tentu semua pembaca tidak sepakat dengan itu.

Untuk diketahui, tulisan itu adalah hasil penelitian (skripsi) saya, sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana pendidkan (S.Pd) pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Kosentrasi Pendidikan Antropologi, Universitas Pattimura, Ambon. Diujiankan pada 27 Agustus 2012, dengan judul “Pikadawu: Tradisi Menangkal Penyakit Pada Masyarakat Dusun Amaholu, Negeri Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat.” Tulisan ini, kemudian saya posting di bloogspot sayatertanggal 12 November 2012 dengan judul: Pikadawu: Tradisi Menangkal Penyakit Pada Masyarakat Etnis Buton Cia-Cia.” Pendasaran judul ini, dipilih karena fokus kajiannya pada komunitas Cia-Cia di Dusun Amaholu, Huamual Barat, Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.  Kemudian di copi paste oleh harian Kendari Pos pada 9 bulan kemudian, dipublikasikan tepatnya sehari usai perayaan Dirgayahu Republik Indonesia, 18 Agustus 2013.

Untuk mengasilkan tulisan itu, tidaklah mudah, saya harus membaca berbagai sumber, merenung, menguras otak, tenaga, juga biaya untuk penelitian. Tetapi, dengan gampang dimuat di harian ini, dan megilangkan nama saya sebagai penulisnya, menggangap ide yang “ada” adalah ide mereka (wartawan) yang memosting tulisan ini. Mari kita belajar dari pengalaman (sejarah) yang itu, untuk segera memperbaiki kesalahan itu agar kedapan koran ini, tidak kehilangan kepercayaan publik. 

Banyak orang mengusulkan, agar saya melaporkan perbuatan menciplak ini, kepada pihak yang berwajib, karena dianggap melangar hukum. Tetapi, itu tidaklah cukup. Kita bisa membangun kerja sama yang baik, dengan tetap menjunjung tinggi etika jurnalis. Jadi, usul saya Silahkan dimuat Ulang Tulisan tersebut di Harian Kendari Pos ini, dan mencantumkan nama Saya, Kasman Renyaan, sebagai penulis. Kejujuran menghargai karya orang lain, lebih penting daripada hanya menyelesaikan tugas mencari berita. Terima kasih.

Menjadi pelajaan berhaga untuk penulis pemula atau penulis kawakan, bahwa menciplak adalah perbuatan dosa. Meskipun demikian, penulis kawakan sekelas profesor pun masih melakukan tindakan bejat itu. Beberapa waktu yang lalu (10/09/2016), saya membaca sebuah status di akun fecebook milik seorang guru besar (profesor) yang bekerja di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI). Ia sedang mempermasalahkan karya tulis Ilmiahnya, diciplak oleh orang lain yang juga adalah seorang dosen dibeberapa perguruan tinggi di Indonesia. Diantaranya dosen di sebuah perguruan tinggi yang berada di Ambon, Maluku. 

Permasalahannya adalah sang penulis tidak mencantumkan nama sumbernya ketika menulis karya ilmiahnya. Seakan menggangap karya yang dihasilkannya benar 100% idenya. Inilah yang disebut plagiat alias menciplak. Saya pun mengapdet status di fecebook group Independesi Ipmam, yang sebagian besar angotanya adalah anak sekampung saya. Berikut pangalan kalimatnya;

 “perbuatan yang yang tak terpuji ini, kini sedang marak terjadi dilingkungan akademik (Kampus-Kampus). Dan jika terjadi gugatan dan terbukti melakukan plagiat sesuai ketentuan Undang-Undang bisa dijabut gelar akademiknya. Alias gelar sarjana yang dimilikinya akan batal secara hukum. Oleh karena itu, adik-adikku sekalian yang baik hati, yang sedang menempuh kuliah Strata Satu (S1), dimanapun berada. Jika Anda menulis karya ilmiah kelak, hindarilah perbuatan "mencopi paste, mentah mentah- tampa memasukan nama penulisnya," karena itu bisa dipermasalahkan secara hukum sesuai ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Berusahalah untuk menghasilkan karya ilmiah (skripsi) dari hasil bacaan dan penelitian anda sendiri. Itu lebih baik dan bermolaral daripada menciplak karya milik orang lain.” 

Ayo kawan lawan plagiator.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun