Suasana duka masih menyelimuti penghuni rumah itu. Sebuah rumah kayu kecil dengan dinding yang sudah reyot dan tiang yang sudah lapuk.
Sesekali ia mengusap matanya yang masih lembab. Beberapa orang mulai meninggalkan. Mungkin mereka pulang kerumah masing-masing.
Ibu Ita, demikianlah namanya biasa di panggil oleh para tetangga dan orang-orang yang mengenalnya, melihat kasur tempat pembaringan terakhir suaminya, lalu beberapa tumpukan pakaian yang biasa di pakai tak luput dari matanya.
Tinggal beberapa orang kerabat dekat yang mendampinginya. Ada rasa bersalah tapi Ibu Ita pun tak mampu berbuat apa-apa. Himpitan ekonomi keluarga tak mampu membantu pengobatan suaminya yang sakit.
Pernah beberapa kali membawa sang suami ke Puskesmas terdekat. Tapi hanya sampai di Puskesmas. Saran dari petugas kesehatan agar di rujuk ke rumah sakit di kabupaten tak mampu ia iyakan. Pikirnya selalu terbentur dengan biaya.
Pikirnya, kalau menggunakan bantuan pemerintah entah apalah namanya, tak bisa mendapatkan pengobatan maksimal.
Di suasana duka mendalam hatinya tambah kecut ketika melihat anaknya yang masih kecil berbaring di pahanya. Anak yang seharusnya masih harus mendapat bimbingan dari seorang ayah.
Harapan agar anaknya kelak punya sekolah tinggi, mendapat pekerjaan layak, membantu ekonomi keluarga sirna belaka. Dalam hatinya kesemuanya itu sulit tercapai. Biaya dari mana ???........
Desahannya mengantar anaknya tertidur setelah melihat pemakaman ayahnya tadi..........
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H