"Kami adalah bertetangga dan kami adalah orang-orang Melayu Belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di pulau itu. Adapun dari sekolah ini , SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa orangtua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apapun, para orangtua hanya menyumbang  sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun." (Andrea Hirata, Laskar Pelangi, hal. 4)
Ketika saya tengah menggulir lini masa Twitter, saya mendapatkan berita tentang ucapan selamat dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta kepada SMANU MH Thamrin Jakarta yang dinobatkan sebagai SMA terbaik se-Indonesia.Â
Sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Hal yang wajar bagi Dinas Pendidikan mengucapkan selamat pada sekolah di bawah binaannya yang berhasil mendapatkan prestasi membanggakan ini. Terbersit di dalam hati bahwa para guru di sekolah ini juga akan merasa bahagia sebab perhatian serta kerja keras mereka mendidik anak murid mereka membuahkan hasil yang baik.
Akan tetapi entah kenapa setelah itu saya merasa sedih. Terbersit cerita yang diberikan Andrea Hirata di novelnya Laskar Pelangi. Ketika melihat kembali novel tersebut, ada ucapan persembahan buku kepada guru beliau. Terasa haru melihat ucapan persembahan ini. Kedua guru tersebut pasti bangga ketika mereka membaca ucapan persembahan ini.Â
Kesedihan dan haru pada kesadaran atas pertanyaan seberapa banyak guru di sekolah swasta murah yang anak muridnya memiliki tabiat yang mudah disesatkan iblis atau hanya diterima di sekolah 'terbuang' bisa melakukan hal yang sama ? Â Apakah ada dinas pendidikan yang pernah memberi perhatian kepada mereka selain hanya berusaha menutup sekolah yang 'hina'?
Prestasi sekolah swasta murah paling hebat mungkin hanya membawa anak murid mereka mampu masuk PTN. Tidak ada mungkin dinas pendidikan atau masyarakat yang memberi selamat ketika itu terjadi. Hal ini mungkin didasari pada asumsi umum bahwa guru lebih hebat ketika mendidik anak-anak di SMA unggulan dari pada para guru di sekolah swasta 'terbuang'. Asumsi yang berat sebelah sebenarnya karena mereka sama-sama mendidik anak-anak 'pilihan'.Â
Anak-anak pada SMA unggulan  adalah pilihan yang telah difilter ketat untuk nilai akademiknya untuk berhasil mendapat nilai tertinggi. Siswa di sekolah swasta murah juga adalah anak 'pilihan'.  Murid di sekolah ini merupakan anak-anak yang 'terbuang' yang tidak di terima di sekolah lain. Mereka banyak diakui sebagai anak bandel dan bagaikan gagak hitam yang mungkin dianggap 'sial' (mohon maaf jika kata ini menyinggung).Â
Akan tetapi mengapa ketika guru berhasil mendidik anak-anak pilihan yang telah difilter ketat dari tidak ada sekolah lain yang terima berhasil diterima di PTN bukan merupakan keberhasilan? Apakah ini bukan merupakan prestasi hebat dari guru yang mampu mengantar anak pilihan untuk dibuang menjadi anak pilihan yang diinginkan?
Hal yang berbeda terjadi ketika murid-murid pilihan sekolah swasta murah ini berbuat hal yang tidak sesuai norma. Ah, pasti yang terdengar adalah hinaan dan makian kepada sekolah tersebut. Sekolah yang mungkin Anda pernah mendengarnya dan mungkin juga ikut memakinya sebagai sekolah para bajingan (jika tidak pernah tolong jangan marah). Sekolah yang tidak mendidik anak untuk berhasil adalah hujatan yang mungkin terdengar. Walaupun hinaan sering sekali ditujukan kepada sekolah akan tetapi bagaimana perasaan guru dari sekolah tersebut jika mendengarnya? Apakah sebagai manusia jika kita berada di posisi mereka dihina sekolah tempat kita mengabdikan diri tidak akan merasa sedih?
Betapa beratnya mendidik anak-anak yang telah dibuang oleh orang tuanya dan masyarakat bukan tidak diketahui oleh kita semua. Betapa banyak orang tua yang terdengar kehabisan batas kesabaran dalam mendidik anak mereka di masa pandemik ini. Padahal anak yang dididik bukanlah anak buangan tetapi anak sendiri yang ada di rumah.Â