Hal ini menciptakan tempat sekolah yang pada 'topeng' retorika menyatakan penyedia jasa pendidikan berkualitas dan telah membuktikan diri dengan kesuksesan banyak siswanya.
Namun pada konteks sebenarnya sebagai penciptaan kartu keanggotaan pada kelompok paling kompetitif dan sangat kompetitif.
Keadaan di mana para orang tua harus menyediakan biaya puluhan hingga ratusan juta bagi syarat awal bisa berpartisipasi di sekolah khusus tersebut (bahkan harus mau diwawancara untuk memastikan kepemilikan 'habit' yang benar).
Belum lagi penyediaan jutaan rupiah bagi uang bulanan dan tentu saja biaya bimbingan belajar serta bermacam les bagi anak yang bahkan telah harus diberikan dari tingkat TK.
Zaman dulu orang tua hanya cukup menyediakan biaya sekolah bulanan yang hanya cukup buat bayar makan KFC 5 kali sudah dapat sekolah top.
Orang tua hanya perlu memberikan biaya bimbingan belajar di SMA dan les pun hanya bahasa inggris sudah cukup. Menjadi orang tua di jaman milenium ini memang makin sulit.
Sekolah top pun hidupnya tidak mudah. Mereka tidak punya pilihan bebas dalam merekrut guru. Ada kualifikasi dan dari mana kualifikasi itu berasal bagi guru yang bisa mereka ambil.
Ada banyak fasilitas harus dipersiapkan. Gimmic-gimmick berupa kurikulum, teknik pengajaran, pelajaran dan banyak tetek bengek yang sangat variatif juga harus dilakukan.
Persaingan antara sekolah sangat rawan terjadi perubahan dan bisa terdegradasi jika tidak waspada. Sekolah juga harus bersaing tidak saja dengan dalam negeri tetapi juga dengan luar negeri.
Guru-guru itu pun tidak gampang karena ada banyak seminar, pelatihan, laporan dan persiapan yang harus ada untuk menyediakan pembelajaran. Menjadi guru dan sekolah di jaman milenium pun memang tidak mudah.
Jika melihat pada tingkat sosial masyarakat di bawah pun mereka telah dipersiapkan sekolah bagi mereka. Sekolah yang telah dipersiapkan menjadi bagi tempat kelas sosial mereka bisa dipertahankan dan terjaga.