Baru-baru ini #ShitLPDPAwardeeSay menjadi trending topik di twitter. Salah satu twit yang menarik adalah tentang LPDP menjadi pembiaya kuliah untuk yang mampu. Hal ini menarik bagi saya karena topik yang menjadi fokus penelitian saya adalah problem kebijakan pembiayaan yang berbenturan dengan penyama-rataan kesempatan kuliah.
Kebijakan  LPDP menurut yang saya ketahui memang mengarah mengutamakan pembiayaan pada pembentukan human capital yaitu menciptakan pemimpin masa depan Indonesia. Banyak penelitian menunjukkan human capital based funding tidak bersahabat dengan penyamarataan kesempatan pendidikan. Ditambah lagi dengan kebijakan LPDP menentukan kampus tujuan hanya 20 besar dunia. Kampus yang banyak penelitian menunjukkan tidak bersahabat dengan masyarakat miskin. Hal yang wajar jika para awardee LPDP banyak dari keluarga mampu yang kadang tidak butuh LPDP bisa kuliah di luar negeri.
Apakah ada yang salah dengan kebijakan ini? Saya akan membela kebijakan ini jika latar belakang sebagai akuntan dan ilmu ekonomi mainstream yang merupakan basis ilmu saya sebelum menempuh PhD untuk memberikan pendapat. Ditambah lagi sebagai seorang anggota kelas menengah (yang katanya ngehek) maka kebijakan ini akan didukung.Â
Dasar pemikirannya bahwa LPDP adalah lembaga investasi pendidikan. Pada sisi kebijakan yang lebih memberikan kepastian hasil maka investasi tentu disalurkan kepada yang memberi kepastian imbal hasil yang lebih tinggi. Memberikan beasiswa kepada orang yang mampu lulus kuliah di kampus top secara bukti penelitian menunjukkan memberi imbal hasil yang lebih tinggi. Secara rata rata bisa dilihat dari hasil penelitian bahwa sekolah top akan memberikan kemudahan orang untuk sukses. Dan lulusan sekolah top terbukti secara data memiliki tingkat kepemimpinan yang tinggi dan menguasai jabatan penting baik di lembaga pemerintah, penelitian dan perusahaan besar.
Namun penelitian (basis ilmunya pasti bukan ekonomi apalagi akuntansi) juga menunjukkan bahwa kampus top bukan temapt yang ramah untuk murid dari keluarga miskin.Â
Sekolah top luar negeri merekrut mahasiswa miskin dari warga negara tersebut dalam jumlah rendah. Masyarakat miskin yang ingin kuliah di universitas top harus memiliki nilai yang lebih baik daripada anak dari kalangan yang mampu. Hal ini dikarenakan sekolah top itu tidak saja mensyaratkan adanya nilai yang baik tapi juga modal sosial berupa kegiatan ekstrakurikuler sekolah, kemampuan berbicara serta kegiatan di luar sekolah yang merupakan hal yang di luar jangkauan masyarakat miskin. Selain itu syarat interview juga sudah pasti akan membuat murid dari sekolah top yang memiliki tata krama, teknik berbicara serta kebiasaan yang sama dengan pewawancara akan lebih diutamakan.Â
Hal yang sama juga terjadi jika kampus top itu merekrut mahasiwa Indonesia. Semua sekolah top akan mensyaratkan calon mahasiswanya untuk membuat motivational letter. Dan dengan modal sosial yang yang berasal dari impian dan pengalaman hidup murid dari kalangan yang berpunya  maka motivational letter mereka lebih mencocoki kriteria yang ditetapkan oleh sekolah top karena para penyeleksi dan pembuat kriteria adalah orang dengan modal sosial yang sama. Ditambah lagi banyak juga mensyaratkan interview dengan lulusan mereka di Indonesia.Â
Sekali lagi, masyarakat miskin akan susah menemukan kecocokan karena modal sosial yang mereka miliki tidak sama dengan lulusan universitas top yang mewawancarai mereka, sehingga kemungkinan kecocokan akan lebih rendah dibandingkan jika yang diwawancarai anak dari kalangan kaya yang nemiliki modal sosial yang sama dengan pewawancara.
Bukti di atas bisa diperdebatkan karena berdasarkan subjektivitas atau hasil penelitian di luar negeri bahwa masyarakat miskin lebih tidak mungkin kuliah di universitas top. Hal yang tidak bisa dibantahkan adalah halangan terbesar biasanya kewajiban memiliki sertifikat IELTS dan bahkan sebagian besar menambah persyaratan dengan tes GMAT atau GRE.Â
Biaya untuk mengikuti ujian tersebut jutaan rupiah. Belum lagi ketika melamar juga harus bayar uang pendaftaran yang nilainya jutaan rupiah. Dan belum lagi biar bisa memiliki kemampuan untuk lolos tes itu membutuhkan les dan persiapan dalam bentuk beli buku latihan yang biayanya bisa habiskan belasan juta rupiah. Maka bisa dipasatikan masyarakat Indonesia dari kalangan menengah ke bawah hampir tidak mungkin dapat beasiswa LPDP reguler dengan persyaratan memasuki universitas dengan rangking 20 dunia.
LPDP memang memberikan kesempatan masyarakat miskin untuk mampu mendaftar di universitas yang lebih banyak serta diberikan pelatihan dengan beasiwa affirmasi. Akan tetapi persyaratan bahwa merupakan lulusan bidik misi serta IPK pada 3,5 akan membuat yang mampu ikut tes saja sudah sangat sedikit. Ditambah lagi persyaratan memiliki nilai TOEFL ITP dnegan skor 500. Secara real, mahasiswa Bidik misi yang mampu lulus dengan nilai IPK sebesar itu serta sekaligus memiliki skor bahasa Inggris yang dipersyaratkan jika tidak mahasiswa dengan kondisi keuangan palsu maka orang yang memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa.