Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disrupsi Pendidikan Formal

31 Desember 2017   18:26 Diperbarui: 31 Desember 2017   18:35 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, sekolah negeri yang penuh kecurangan dan intrik itu telah mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat elit. Mereka mulai beralih ke sekolah swasta top dengan biaya bulanan bisa setara gaji masyarakat kelas menengah di Indonesia. Sekolah yang telah menjadi industri dengan bayaran mahal. Namun, ini makin memperbesar jurang tingkat pengetahuan antara mereka yang kaya dan mampu dengan mereka yang miskin. Sekolah wah itu juga menjadi pengkotakan pergaulan bagi  etnis minoritas yang kaya. Hal yang memperbesar kesenjangan dan berpotensi menjadi kecemburuan sosial yang gampang disundut. Pembauran antara masyarakat yang menyebut dirinya pribumi dan disebut non pribumi (walau mungkin sudah lebih dari 7 turunan tinggal dan lahir di Indonesia) akan makin sulit dilakukan.

Penzonasian sekolah yang merupakan kebijakan baru juga memberikan efek yang lebih buruk. Penzonasian sekolah di Amerika serikat menunjukan efek pengkotakan atas sosial ekonomi dan etnis  menjadi lebih parah. Sekolah negeri dan swasta yang bagus akan menarik banyak orang tua yang mampu membeli rumah disekitar zona sekolah. Hal yang akan makin mengkotakkan komunitas antara kaya dan miskin. Kita akan memiliki masyarakat dan pendidikan yang makin terkotak kotak. Amerika sendiri telah mulai menyesali penzonasian itu. Mereka telah mulai memberikan bantuan agar masyarakat kalangan miskin bisa mengikuti sekolah di luar zonasi dan atau memindahkan keluarga miskin hidup di daerah masyarakat kaya. Namun, karena zonasi telah terlalu kuat, anak anak yang pindah malah tersisih dan tidak mampu beradaptasi karena perbedaan kultur.

Yang diperlukan pendidikan Indonesia saat ini adalah disrupsi bagi institusi pendidikan formal. Belajar dari bagaimana angkutan informal yang mampu menjadi disrupsi dan memperbaiki pelayanan dan menurunkan harga angkutan formal yang korup maka sekolah informal bisa dipromosikan oleh pemerintah. Pemerintah perlu memberikan bantuan dan memudahkan masyarakat untuk mengikuti pendidikan secara non formal. Selain itu, berikan legalisasi setara dengan sekolah formal dengan menyelenggarakan ujian negara kenaikan kelas serta bisa mengikuti ujian nasional sehingga memperoleh ijazah legal yang dengan mudah mereka gunakan untuk masuk sekolah formal atau perguruan tinggi (masayarakat Indonesia sangat suka Ijazah resmi). 

Tambahan lagi berikan mereka kesempatan untuk bersaing secara langsung dengan mereka yang bersekolah di formal seperti ikut kegiatan olahraga antar pelajar, cerdas cermat dan tentu saja olimpiade pengetahuan. Dukungan ini diharapkan akan mampu membuat para pendidik entrepreneur memberikan pendidikan informal innovatif yang bisa diperbandingkan hasilnya dengan sekolah formal. Beberapa telah memulai seperti komunitas komunitas sekolah rumah non profit atau secara profit seperti Primagama dan sekolah rumah kak Seto.

Sekolah informal ini hanya salah satu cara. Namun, yang pasti apa yang dibutuhkan adalah disrupsi bukan tambahan pengaturan. Tambahan pengaturan tidak akan berhasil selama institusi itu hanya perduli pada keberlangsungan dan kelanggengan kekuasaan daripada mencerdaskan anak bangsa. Tambahan pengaturan bisa jadi hanya akan menambah cara para aktor pemegang kekuasaan untuk menambah dana ke pundi mereka. Seperti zonasisasi yang bisa menaikkan harga properti di daerah dengan sekolah bagus maka para aktor kekuasaan bisa menjual jasa kepada perusahaan properti untuk memusatkan  sumber daya sekolah negeri di daerah mereka. Berikan dukungan untuk inovasi digital berkembang maka institusi formal harus berjuang untuk memperbaiki diri atau musnah.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun