Qadarullah, saya memiliki anak berkebutuhan khusus. Namanya Dara. Dia gadis kecil yang saat ini berusia 11 tahun. Anaknya yang sangat ceria dan senang berteman. Tidak pernah mau libur sekolah. Setiap sore hari mengajak atau diajak temannya bermain sepeda berkeliling komplek.
Kami baru mengetahui bahwa gadis kami berkebutuhan khusus karena dia terlambat bicara dibandingkan anak yang lahir di tahun yang sama dengannya.
Saat usianya empat setengah tahun kami tidak bisa lagi menanti dan mulai menyadari, bahwa ada ketidaknormalan pada buah hati kami.
Hasil observasi dokter tumbuh kembang anak, Dara dinyatakan anak dengan celebral palsy, adanya kekakuan pada tungkai tangan dan kakinya.
Gerak motorik yang lamban ini berakibat pada kemampuan bicara dan akademisnya. Namun, demikian setelah enam bulan terapi, Dara mulai bisa bicara dan mempu mengikuti perintah yang diberikan gurunya.
Ajaibnya, Dara sadar bahwa saat berjalan dan berlari dia ketinggalan dari temannya, karena ia berjalan dengan kaki yang diseret dan dijinjit, tetapi dia biasa saja. Tidak pernah bertanya, mengapa ia berbeda dengan teman-temannya.Â
Bagi Dara kecil sama sekali tidak terganggu dengan keadaan kakinya yang diseret dan dijinjit. Namun, bagi kami sebagai orangtua tentu merasa sedih dengan kondisi anak kami.
Tidak jarang kami meneteskan air mata bukan karena sedih atas keaadaan yang dialami anak kami, tetapi bersyukur dengan sikap Dara yang tetap ceria dengan keadaannya.
Di sini saya merasa belajar banyak dari Dara. Belajar dari anak yang berkebutuhan khusus akan penerimaan dengan kondisi yang Allah beri kepadanya. Dara tidak malu bergaul dengan teman-temannya di sekolah maupun teman-teman di lingkungan tempat tinggal kami.
Bukan tidak jarang dia mendapat tatapan aneh dari orang sekitarnya. Namun, dia memilih tidak mempedulikannya. Memilih teman yang mau bermain dengan temannya. Tetap baik-baik saja, saat ada yang memilih menolak bermain.