Mohon tunggu...
Muhammad Kasim
Muhammad Kasim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa yang tak kunjung sarjana, suka nulis walaupun isinya lebih banyak omong kosong.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bias Media

2 April 2012   06:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasca reformasi 1998 silam bergulir, sejumlah Undang-undag lahir. Termasuk lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberikan "kemerdekaan" kepada pers. Peraturan tersebut lahir sebagai respon atas pembredelan  media yang terjadi di zaman Orde Baru. Sekedar review, koran Tempo pernah menjadi korban, dimana pada 21 Juni 1994 dibredel oleh Soeharto lantaran laporannya dianggap membahayakan negara ketika itu. Tidak hanya Tempo, beberapa media dipaksa bungkam agar tidak memberitakan hal yang "tidak-tidak" mengenai kondisi negara.

Seiring berjalannya waktu, media massa (mass media) memperlihatkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Geliat ini di satu sisi merupakan kemajuan dan sangat positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Media membantu masyarakat dalam mengakses informasi lebih cepat. Ini penting, terutama di era keterbukaan seperti sekarang. Akan tetapi, media juga punya potensi yang merugikan. Realitasnya, media saat kadang bias dalam penyampaian berita. Keadaan ini seringkali memicu kontroversi di masyarakat. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ada kepentingan di balik pemberitaan.

Bias di balik pemberitaan terjadi karena media tidak sekedar memberitakan, akan tetapi ada pesan tertentu yang hendak disampaikan. Hal tersebut bisa dijelaskan melalui Agenda Setting Theory. Maxwell McCombsdan Donald L Shaw Sperti yang dikutip Nurudin dalam tulisannya Media Massa, Kunci Pemenangan Pilkada, menemukan bahwa ada hubungan yang tinggi antara penekanan berita dan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh pemilih. Meningkatknya nilai penting bagi berita pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut bagi khalayak

Lanjut Nurudin, media (khususnya media berita) tidak selalu berhasil memberitahu apa yang harus dipikirkan orang, tetapi media tersebut benar-benar berhasil memberitahu seseorang apa yang harus dipikirkannya. Akibatnya, media selalu mengarahkan pada masyarakat apa yang harus dilakukannya. Menurut asumsi teori di atas, media punya kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media menentukan apa yang penting dan apa yang tidak penting.

Baru-baru ini, Bangsa Indonesia dihebohkan dengan kasus yang membelit mantan bendahara partai Demokrat. Dalam pemberitaan, dia (Nazaruddin) tidak sendirian melakukan korupsi melainkan ada orang di balik itu. Dan yang dituduh mengatur semuanya adalah Anas Urbaningrum yang tidak lain adalah ketua umum Partai Demokrat yang juga mantan bosnya. Anas urbaningrum dianggap sebagai dalang, dan Nazaruddin hanyalah pion. Pemberitaan tersebut booming di media-media mainstream hinggaberbulan-bulan lamanya. Akibat opini yang terus diring, masyarakat akhirnya memvonis Anas sebagai koruptor. Padahal, alih-alih menjadi tersangka, diperiksa pun Anas tidak pernah. Hal ini menjadi bukti bagaimana media mampu mendikte dan mengarahkan opini dalam masyarakat.

Data survey mutakhir LSI yang dirilis pada Maret 2012 juga menjadi bukti bagaimana kedaulatan media. Partai Nasdem (Nasional Demokrat) secara tidak terduga berhasil masuk di jajaran partai elit dengan dukungan sebanyak 5,9% mengungguli beberapa partai medio seperti PKS, PPP, PAN, Gerindra, dan Hanura. Padahal, partai tersebut (Nasdem,red) hanya bekerja pada wilayah media dan tidak pernah turun langsung pada wilayah kerja yang riil. Seperti diketahui, selama beberapa bulan terakhir Partai Nasdem sering tampil di layar TV.

Burhanuddin Muhtadi dalam tulisannya yang berjudul telepolitics dan gelembung politik Elektoral menyebut fenomena ini sebagai revolusi media. Dimana peran media memalui iklan televisi yang makin besar dalam meperantarai hubungan parta dengan pemilih bisa berimplikasi etis. Kamera bisa mengkonstruksi citra menjadi realita. Melalui apa yang oleh kalangan televisi sebut "The illusion of presence", kamera berpretensi memermak wajah asli partai dan politisi.

Media sebagai salah satu pilar demokrasi seyogyanya menjadi corong informasi yang riil dan apa adanya  dengan menyajikan pemberitaan yang berasal dari bawah (bootom up).Upaya mengarahkan opini hanya akan mengakibatkan bias media yang tentu tidak kita harapkan. Wallahu a'lam bishawab
sumber: www.dauatkata.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun