Mohon tunggu...
Sofia Deminiari Swanantika Widodo
Sofia Deminiari Swanantika Widodo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

being a creative writer is one of my goal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harusnya, Ini tentang Kias

3 September 2013   19:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:25 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadang luka itu tidak terlihat mata , tidak bisa di tutup perban , dan tidak mampu ditutupi. Kadang luka itu tercipta bukan untuk di obati. Kadang luka itu adalah satu batu loncatan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kadang ya kadang tapinya.

Tapi luka itu pasti mendewasakan. Luka itu pasti memberi celah untuk berkembang. Menjadi lebih baik atau tidak , itu pilihan. Luka ada , supaya kita bisa belajar memilih. Luka ada , supaya kita bisa mencari obatnya. Sekalipun luka itu dicipta oleh orang yang paling kita kasihi , luka tetap memberi beribu dampak positif untuk kita. Asal kita selalu berpikir jernih dengan kepala dingin tanpa emosi.


Luka itu kini Kias rasa. Luka yang buat Kias jadi lebih pendiam. Luka yang buat Kias jadi lebih suka memendam emosinya. Belajar menjadi orang datar yang tak mampu dibaca emosi. Luka yang buat Kias jadi kehilangan kekuatan untuk berkata ‘aku bisa’. Luka yang buat Kias jadi seperti tidak bernyawa.


Kias bukan anak manja , bukan pula saudara yang selalu ingin mendapat spotlight , bukan pacar yang tidak bisa mandiri. Kias tidak pantas terluka. Bukan luka yang seperti ini yang seharusnya Kias rasa. Bukan luka hasil dari kecewanya orang tua. Bukan luka akibat tak dihargai oleh saudaranya. Bukan luka karena selalu di anggap mandiri oleh kekasihnya. Bukan , mereka bukan yang berhak menyakiti Kias. Apapun alasannya.


Kias menelan tangisnya yang sering sudah ada di ujung pelupuk mata.  Kias memalingkan wajahnya dari tatapan orang-orang yang mengasihaninya. Kias terbiasa sendiri. Menyelesaikan semua sendiri. Menangis sendiri. Mengutuk betapa tidak berhasil hidupnya sendiri. Menyesali keputusan yang harusnya tidak di lakukan atau keputusan yang tak mampu dia ungkapkan, sendiri. Menutup malam dengan bulir air mata hangat di pipinya seraya berdoa agar dia kuat dan tetap kuat.


Bukan hidup mereka yang berantakan saat ini , tapi hidup Kias. Bukan hati mereka yang hancur saat ini, tapi hati Kias. Bukan masa depan mereka yang absurd saat ini , tapi masa depan Kias. Jadi , harusnya Kias yang diperhatikan saat ini. Harusnya Kias yang diberi pundak saat ini. Harusnya Kias yang dipeluk hangat saat ini. Bukan , bukan Kias yang harusnya memberi pundak , memeluk hangat atau memperhatikan siapapun saat ini.


Tapi manusia itu egois. Mereka memposisikan betapa mereka terluka , betapa mereka tersakiti , betapa mereka kecewa tanpa pernah tau siapa yang sebenarnya harus menangis. Siapa yang sebenarnya harus menjerit tanda frustasi. Bukan mereka , tapi Kias. Lagi-lagi , harusnya ini tentang Kias.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun