Randuwatang, sebuah desa di pinggiran utara kabupaten Jombang, disanalah aku dilahirkan. Lahir dari keluarga kurang mampu, anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara. Orang tuaku memberikan nama Kaseri (rejekine tibo keri dalam Bahasa Indonesia berarti rejeki datang di akhir). Himpitan ekonomi, yang membuat kami harus hidup dalam kekurangan dan kesederhanaan. Termasuk pendidikan, Sembilan saudaraku paling tinggi berijazah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Keseharian yang aku lalui saat Sekolah Dasar (SD) adalah bekerja di tetangga. Sepulang sekolah, menaruh tas dan ganti baju, lalu pergi ke tetangga untuk bekerja membantu membungkus krupuk. Lumayan setiap hari dapat uang 25 -- 50 rupiah (saat itu sudah sangat banyak).Â
Uang itu bisa buat jajan saat sekolah dan sisanya bisa di tabung serta membantu orang tua. Saat lulus SMP, dalam hati ingin langsung bekerja agar bisa membantu orang tua. Tetapi pekerjaan saat itu yang ada dan lagi familiar di desa adalah mencari pasir di sungai dan kuli angkut pasir.
Mencari pasir, suatu pemandangan yang sangat mudah dijumpai. Di sepanjang sungai berantas, di selatan tanggul, setiap pagi, siang dan petang tidak pernah sepi oleh orang prang yang mencari pasir. Mereka membawa kerancang, kemudian turun ke sungai lalu menyelam.Â
Jika sudah memperoleh pasir, mereka naik ke atas dengan menyunggi (meletakkan keranjang berisi pasir diatas kepala) diletakkan di pinggir tanggul. Rutinitas naik turun ke sungai dan tanggul menjadi kebiasaan tanpa kenal lelah. Ada juga kuli angkut pasir, memindahkan pasir-pasir yang ada di pinggir tanggul untuk dipindahkan ke dalam truk untuk dijual.
Emakku begitu aku memanggil ibuku, tidak tega dan rela jika aku harus bekerja sekeras itu. Maklum anak terakhir, sangat disayang dan dimanja. Karenanya selepas SMP dengan nilai terbaik saat itu, aku dikirim ke Bandung tinggal bersama kakak kedua, untuk sekolah di SMA Negeri 2 Jombang. Sambil sekolah akupun membantu kakak untuk bekerja di sawah, ke pasar, dan merawat lele. Biaya sekolah ditanggung kakak kelima yang saat itu, alhamdulillah sudah bersatatus Pegawai Negeri meskipun hanya lulusan SMP.
Tiga tahun berlalu, saat akan lulus SMA, aku mendapatkan tawaran masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lewat jalur Penelusuran Minat & Kemampuan (PMDK) yaitu seleksi penerimaan mahasiswa baru dengan proses seleksi berdasarkan nilai akademik atau sertifikat kejuaraan dalam bidang seni, sains, dan olahraga. Kesempatan itu, tidak aku sia-siakan.Â
Akupun mendaftar ke Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang dengan Fakultas Kedokteras Jurusan Kedokteran Umum. Tapi nasib berkata lain, saat pengumuman, aku tidak diterima disana. Menyadari kemampuan ekonomi orang tua dan tidak ingin membebani keluarga, aku pun rela mengubur cita cita untuk kuliah di PTN.Â
Dua tahun kau gunakan untuk bekerja, bahkan pernah daftar untuk pergi keluar negeri menjadi Tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Hongkong atau Taiwan. Lagi-lagi nasib berkata lain. Aku gagal berangkat menjadi TKI. Akhir-akhir, baru aku sadari ternyata doa emakku yang tidak rela terpisah jauh dariku.
Dalam setiap doa, emakku selalu ingin aku menjadi orang sukses tapi tidak meninggalkan beliau terlalu jauh. Puasa Senin Kamis, puasa saat hari lahirku, dan doa-doa di setiap penghujung malam, membuat langkahku dipermudah oleh Alloh SWT.Â
Akupun ikhlas menjalani takdirku, dengan mengisi dua tahun bekerja di pasar untuk berjualan cecek, telor, dan aleh (semacam kecambah). Sepertinya doa, yang tersirat dalam namaku mulai menampakkan hasil. Sambil bekerja, akupun mulai kuliah di STKIP PGRI Jombang dan siang mulai mengajar di Madrasah Tsanawiyah.