Orang-orang terkaya memiliki rencana-rencana berbeda di kepala mereka. Para elite akan selalu berusaha selangkah di depan. Ini cukilan dari buku Homo Deus-nya Harari.
Kondisi ini sedang terjadi di banyak sisi kehidupan. Salah satunya yang masih hangat adalah kisruh di sepak bola dunia. Beberapa klub elite Eropa mendirikan European Super League (ESL) atau Liga Super Eropa.
Konsep ESL bukan barang baru. Sudah menjadi wacana sejak puluhan tahun lalu. Tahun 1990-an media sudah sering menulisnya. Beberapa sosok sepak bola ikut berkomentar, termasuk Arsene Wenger, mantan pelatih Arsenal.
Lebih jauh lagi, pada tahun 1964, penulis kolom terkenal Brian Glanville memprediksi lahirnya Liga Super Eropa di masa depan. Yang menarik, Glanville menyebut faktor ekonomi menjadi alasan utama berdirinya super ini. Persis seperti yang terjadi sekarang.
Di media, terutama sosial media, pro kontra ESL sempat memanas setiap detik. Mantan pemain menghujat, pemain yang aktif tapi sedang tak kedengaran juga menghujat, dan sejumlah komunitas fans membentangkan tanda protes di depan stadion. Penolakan datang dari berbagai arah.
Ternyata umur ESL hanya bertahan kurang dari 50 jam. Bahasa bisnisnya ditunda. Enam klub besar Liga Inggris yang berperan sangat penting menarik diri satu per satu.
Bisa jadi niat awal dan terselubung ESL memang untuk menggertak saja. Banyak perang dan pertarungan dimenangkan hanya dengan menggertak, atau bahasa kerennya negosiasi.Â
Gertakan ini berhasil karena UEFA, federasi sepak bola Eropa yang beberapa pengurusnya terbukti korup, merampungkan pasal-pasal di format baru Liga Champions yang lebih memihak tim-tim elite.
Lalu bagaimana dengan fans yang terlanjur gerah dan marah?
Frasa "bread and circus" (kenyang dan senang) yang dipakai kaum elite di zaman Romawi bisa menggambarkan fans sepak bola.Â