Mohon tunggu...
Kartika Restu
Kartika Restu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Catatan Harian Sang Pejalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Energi Bayu di Bumi Marapu

28 Desember 2015   11:38 Diperbarui: 28 Desember 2015   12:17 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pembangkit listrik tenaga bayu di Dusun Kahili, Sumba"][/caption]Senja datang, matahari menghilang. Kegelapan mulai menyelimuti Pulau Sumba. Namun, Maria, warga Dusun Kalihi, Desa Kamanggih, Kecamatan Kahungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur masih bisa menenun kain adat. Sebuah lampu hemat energi yang menggantung di langit-langit rumahnya berpijar terang sehingga Maria tetap bisa melihat helai demi helai benang yang ia pegang. Padahal, tiga tahun lalu kegiatan menenun mustahil dilakukan di malam hari. Cahaya pelita tidak mampu menembus pekatnya malam. Harap maklum, aliran listrik belum masuk ke Kahili. Alhasil, minyak tanah menjadi pahlawan saat malam tiba.

Di pulau seluas 10.710 km2 itu listrik memang masih menjadi barang mewah nan langka. Sebagian besar warga Bumi Marapu - sebutan Pulau Sumba yang berarti Bumi Para Arwah - belum menikmati kemerdekaan lantaran ketiadaan akses listrik di rumah. Ketika masyarakat Pulau Jawa mengeluh lampu byar-pet selama periode tertentu, anak-anak Pulau Sumba belajar dalam kegelapan sepanjang waktu. Topografi Pulau Sumba yang berbukit-bukit menyulitkan pemasangan jaringan listrik. Untuk mengakses listrik, penduduk Dusun Kahili harus berjalan sejauh 1,5 km menuju Dusun Mbakuhau yang telah lebih dulu dialiri listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

 [caption caption="Topografi Pulau Sumba yang berbukt menyulitkan pemasangan listrik"]

[/caption]Penari langit

Beruntung, Indonesia memiliki putra bangsa yang mampu membawa perubahan. Angin segar mulai bertiup sejak Juli 2013. Adalah Ricky Elson, sang perancang pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang mendesain kincir angin sehingga bisa menghasilkan listrik. Di puncak bukit, berdiri 28 kincir listrik yang meliuk lincah mengikuti hembusan angin. Tak heran jika Ricky Elson menyebut kincir angin itu dengan julukan Para Penari Langit. PLTB itu merupakan pemutus kegelapan malam warga Sumba.

Dari sanalah listrik dihasilkan, sehingga warga bisa menikmati nyala lampu di malam hari. Inovasi Penari Langit dari insinyur kebanggan Indonesia itu mampu menghasilkan listrik sebesar 10 kWh dari satu pembangkit. Energi sebesar itu bisa memberi penerangan berupa 4 lampu untuk setiap rumah warga yang berada di sekitar pembangkit listrik.

Pemasangan PLTB atas inisiatif PT Pertamina, Lembaga Angin Nusantara (LAN), serta Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). PLTB terpilih lantaran sumber daya angin memang berlimpah dan rajin berhembus di Kahili yang terletak di perbukitan. Hasil perhitungan kecepatan angin mencapai 3 m/detik.

[caption caption="Para Penari Langit yang menghadirkan listrik bagi warga"]

[/caption]

[caption caption="Pertamina turut serta membangun kemandirian energi bangsa Indonesia"]

[/caption]Kegiatan produktif

Pembangunan turbin tenaga angin itu sangat berarti bagi daerah terpencil. Pemanfaatan sumber energi baru terbarukan bisa memngurangi penggunaan energi fosil seperti solar. Pembangkit listrik tenaga diesel tentu bukan solusi cerdas. Selama ini, ketergantungan Pulau Sumba pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tergolong tinggi, yakni mencapai 85%. Bahan bakar fosil itu dikirim dari daerah lain lewat laut sehingga rentan terhadap kondisi cuaca dan biaya pengangkutan yang mahal.

[caption caption="Kegiatan menenun kini bisa dilakukan di malam hari"]

[/caption]Keberadaan PLTB di Dusun Kahili tak hanya memerangi gelapnya malam, tapi juga menerangi masa depan. “Anak-anak kini bisa nyaman belajar di malam hari. Mereka tak lagi mengeluh mata sakit karena harus membaca dalam redup,” kata Maria. Selain itu, kegiatan ekonomi produktif seperti menenun kain bisa dilakukan di malam hari. Kegiatan itu dilakukan selepas bergadang di siang hari. Kini, malam di Kahili tak lagi gelap dan sunyi. Bunyi mesin tenun Maria yang menghentak bergaung hingga ke seantero Sumba. (Kartika Restu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun