Pada mulanya, sistem manajemen dikendalikan oleh PPLH Seloliman, dan masyarakat hanya menjadi penikmat saja. Masyarakat desa hanya tahu bahwa listrik harus tersedia sepanjang waktu. Mereka enggan menoleransi adanya gangguan yang menyebabkan pasokan lkistrik tersendat. Misalnya terjadi kerusakan pada salah satu komponen atau penyumbatan aliran air yang menyebabkan debit air berkurang.
Oleh karena itu, sejak tahun 2000, PPLH dan masyarakat sepakat untuk membentuk organisasi swadaya masyarakat bernama Paguyuban Kali Maron (PKM) sebagai pengelola. Sedangkan PPLH hanya menjadi pendamping saja. Menurut Muzzaki, Manajer Operasional PPLH, pengelolaan PLTMH saat ini bersifat dari dan untuk masyarakat. “Adanya PKM membuat warga desa merasa memiliki kepentingan terhadap PLTMH itu, sehingga mereka peduli dan mau merawat pembangkit listrik,” kata Muzakki.
Untuk mengelola PLTMH, Paguyuban Kali Maron menetapkan biaya beban listrik melalui musyawarah bersama warga. Harga per watt menyesuaikan harga listrik dari PT PLN sehingga berfluktuasi setiap tahun. Pada 2015, harga yang ditetapkan sebesar Rp600 per kW. petugas yang ditunjuk akan memungut biaya setiap bulan. Pungutan itu dipergunakan untuk membiayai operasional PKM dan perawatan mesin PLTMH.
Selain dari pungutan warga, PKM juga mendapat pemasukan dari kelebihan listrik yang dijual ke PT PLN. Pasalnya, sebagian besar atau 80% konsumen PLTMH Kali Maron adalah sektor rumah tangga yang kurang membutuhan listrik saat siang hari. Listrik yang tidak terpakai inilah yang masuk ke jaringan terintegrasi milik PT PLN.
Pembangkit Kedua
[caption caption="PLTMH Wot Lemah berkapasitas 15 kW"]
Pengadaan PLTMH kali ini merupakan kerjasama antara PPLH Seloliman, pengurus Paguyuban Kali Maron (PKM), Pemkab Mojokerto, PT PLN, dan beberapa lembaga donor. Pembangunan PLTMH yang kedua ini menghabiskan biaya sekitar Rp450 juta. Sebagian besar skema pembiayaan dibebankan pada calon konsumen pemakai listrik yaitu masyarakat Dusun Biting dan Dusun Balekambang. Walaupun mereka dikenakan biaya pembayaran awal tetapi semangat gotong royong untuk kerja bakti bersama pengurus PKM sangat tinggi.
Pada 7 Mei 2009 pembangkit kedua itu diresmikan penggunaannya dan diberi nama PLTMH Wot Lemah. Kini giliran 25 KK warga Dusun Biting dan 25 KK warga Dusun Balekambang yang menikmati listrik murah dan ramah lingkungan. Pembangkit berkapasitas 15 KW itu mampu memenuhi kebutuhan warga seperti penerangan, memasak, dan hiburan. “Mereka tinggal membayar iuran sekitar Rp20.000—30.000 per bulan,” kata Muzakki. PLTMH Wot Lemah juga diinterkoneksikan dengan jaringan listrik PT PLN, sama dengan pendahulunya.
Begitu listrik murah dan ramah lingkungan menerangi Dusun Biting dan Balekambang, aktivitas ekonomi mulai bergeliat. Ibu-ibu di Dusun Balekambang memanfaatkan listrik untuk memproduksi makanan ringan seperti keripik tempe dan ketela. “Kami berharap potensi industri rumahan seperti bisa berkembang dan menjadi ciri khas Desa Seloliman,” kata Muzakki. (Kartika Restu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H