Pada suatu siang yang terik, beberapa hari yang lalu. Saya baru saja akan menyeberang ketika seorang pemuda berjalan mendekat, nyaris menabrak saya.
“Maaf..” ujarnya.
Sekilas, ia tampak seperti pemuda biasa. Wajahnya cukup tampan dan pakaiannya rapi. Jika tak memperhatikan dengan cermat, orang mungkin mengira ia sengaja hendak menabrak saya. Namun melihat salah satu bola matanya menatap ke satu arah, dan sebelah lagi bergerak tak beraturan, saya tersadar bahwa ia adalah seorang penyandangtunanetra. Pemuda itu berjalan tanpa tongkat, maka saya menyimpulkan bahwa ia termasuklow vision, ataumasih memiliki sisa penglihatan.
Organisasi kesehatan dunia, WHO, menyatakan bahwa secara global diperkirakan terdapat 285 juta orang hidup dengan ketunanetraan. Dari jumlah tersebut, 39 juta orang mengalami kebutaan total, sementara 246 jutalainnya adalah low vision, dengan kerusakanpenglihatan sedang atau parah.
Saya menepuk punggung tangan pemuda tersebut dan menawarkan bantuan, yang disambut dengan senyum dan ucapan terima kasih.
Kami berada di ruas jalan di mana kompleks tuna netra berada. Namun tampaknya tak ada pengendara yang peduli akan hal itu, hingga tak satupun dari mereka mengurangi laju kendaraannya. Menyeberang jalan tersebut saat itu rasanya hampir mustahil, bahkan bagi orang awas seperti saya.
Kami harus menunggu beberapa saat hingga arus lalu lintas tidak terlalu ramai.Saya berdiri di sebelah kanan si pemuda,membiarkan tangan kanannya memegang lengan kiri saya, tepat di atas siku. Pelahan, kami beriringan menyeberang.
“Ibu dari kantor ya?”
Sebelum saya sempat menjawab, ia berkata, “Di tempat-tempat umum, saya lebih sering dibantu olehorang-orang yang dianggap kasar dan tidak punya hati. Itu bu, preman-preman, tukang palak. Meski tak pernah dilatih untuk menuntun tunanetra, mereka tidak ragu mengulurkan tangan ketika kami butuh bantuan untuk menyeberang jalan yang lalu lintasnya ramai seperti di sini.”
Saya menggigit bibir.
Si pemuda melanjutkan, “Banyak orang enggan memberikan bantuan. Entah karena ragu, tidak tahu harus bagaimana, atau tidak peduli?”
Kalimat itu diakhiri dengan tawa kecil. Seperti mempertegas ironi dari pengalaman si penutur, seorang mahasiswa dengan hambatan penglihatan yang sedang menyelesaikan skripsi.
Kata-kata dari pemuda itu menunjukkan betapa ketunanetraan, seperti halnya kecacatan lainnya, bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, namun juga masalah sosial.Penglihatan bukan sekedar mata yang bisa melihat, namun merupakan fungsi yang mencakup kemampuan persepsi, mencerna dan memproses informasi. Rusak atau hilangnya penglihatan dapat terjadi sejak lahir, dapat pula terjadi tiba-tiba, misalnya karena suatu penyakit atau kecelakaan.
Ketika penglihatan seseorang rusak atau hilang, ia dapat mengalami disabilitas, kondisi keterbatasan yang diakibatkan bukan saja oleh hambatan penglihatannya, namun juga karena hambatan struktural, dan sikap masyarakatyang cenderung diskriminatif, atau tak peduli.
Maka, ketika kita memalingkan muka saat mendapati seorang penyandang tunanetra memerlukan bantuan dalam menyeberang jalan, seperti dalam kasus mahasiswa tadi, saat itu kita turut andil meningkatkan disabilitas akibat ketunanetraannya. Ketidapedulian semacam itu sekaligus merupakan pengingkaran terhadap kemampuan kita sebagai manusia. Dengan demikian, predikat disabilitas akan melekat pula pada diri kita.
Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) yang tahun ini jatuh pada tanggal 10 Oktober, merupakan momen peringatan tentang keistimewaan penglihatan, sebagai anugerah yang harus kita syukuri dengan menjaga dan merawatnya. Selain itu, siapapun yang merasa sebagai bagian dari masyarakat mesti memastikan bahwa para penyandang tunanetra bebas dari diskriminasi, serta mendapat dukungan yang dibutuhkan untuk mewujudkan potensi diri, mencapai cita-cita mereka.
Saya percaya kita bisa memulainya hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H