Basah mengawani pagi ini. Embun berguguran seakan menghujani bumi yang lama diterjang kemarau. Sungai yang mulanya mengalir bening kini meninggalkan tanah kering retak tanda tak ada kehidupan yang sejuk seperti sebelumnya. Burung masih berkicau dihalaman yang kering, meskipun lirih. Tak hinggap lagi didahan yang berlapis debu.
Nabil menata tanaman hias didepan rumahnya. Mendadak ia terdiam. Ia sadar bahwa dialah kini yang menjadi satu-satunya harapan keluarga. Ayah sudah lama meninggal dan ibu terbaring lemah tak berdaya karena penyakit leukemia yang dideritanya. Ia memiliki seorang kakak yang menurutnya bukanlah seorang laki-laki yang bisa dipercaya. Dia hanya pulang saat tak ada uang dan pergi saat ia berhasil merampas uang dari ibu. Nabil sering kesal. Kenapa semua terjadi padanya. Kenapa harus ia mempunyai seorang kakak yang tidak sedikitpun peduli pada keluarganya.
Nabil tak ingin larut dalam duka. Ia percaya Tuhan selalu bersamanya. Ya, hatinya selalu berbisik semua pasti ada jalan keluarnya. Hari ini pengumuman hasil tes masuk universitas. Kuliah bukanlah satu hal yang ingin dilakukannya. Ia tahu bahwa keuangan keluarga tidak memungkinkan ia sampai menyandang sarjana. Tapi demi ibunya, ia akan mencoba. Mencoba melawan pikiran negative yang selalu meresahkannya.
Ibu bilang padanya, sayang jika uang itu digunakan untuk mengobati ibu. Ibu sudah positif leukemia. Lebih baik digunakan untuk memperbaiki masa depan Nabil saja. Ibu tidak mungkin berharap pada abangnya. Yang hanya tahu kesenangan belaka. Nabil hanya mengangguk. Meskipun tak sepenuh hati. Senyum ibu baginya adalah sesuatu yang sangat berharga.
Ia kembali kekamarnya. Dipijatnya pangkal kepala yang tiba-tiba terasa nyut-nyutan. Matanya masih terlihat lebam, sisa tangis semalam. Karna lagi-lagi abang membuat ibu menangis dengan kelakuan brandalannya. Harus seperti apa dia?
Nabil merebahkan tubuh letihnya diatas dipan tua yang selalu berhasil menghapus lelahnya. Pagi ini ia belum menjenguk ibu dikamarnya. Biasanya ibu minta pergi jalan-jalan untuk sekedar menghirup udara pagi yang menurutnya tak begitu segar. Ia bangkit dari tempat tidurnya. Menuju kamar ibu.
Matnya terperangah, mulutnya ternganga tak bisa berbicara. Ibu tak saadarkan diri. Tersungkur dilantai. Sirine ambulan memenuhi ruang telinga. Brankar diturunkan membawa tubuh lebah ibu kedalam ruang ICU.
Mata Nabil sembab tak karuan. Sudah tak terlihat sisa air mata dipipinya, dan dia hanya seorang diri sekarang. Apa yang harus dilakukannya? Dokter tak kunjung keluar ruangan untuk memberitahunya apa yang akan terjadi setelah ini. Dia berharap agar semua baik-baik saja. Nabil tak bisa duduk tenang, mondar-mandir tak karuan didepan ruang ICU. Berharap dokter keluar dan tak menyampaikan berita yang membuatnya bisa mati berdiri sekarang juga. “Keluarga bu Rosa…??” dokter keluar dari balik pintu yang bertuliskan ICU. “Saya dok” jawabnya. “Saya anaknya” ia meneruskan dengan kata-kata yang terbata-bata. “ Mari ikut saya…” Langkahnya mengekor dokter yang membawa Nabil keruangan konsultasi.
Sekujur tubuhnya lemas. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Uang baru saja akan ditransfer untuk membayar biaya kuliahnya. Tapi ibu harus segera dirawat untuk mengurangi rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
Nabil masuk ruang rawat ibu. Disana ibu sudah tersenyum menyambutnya. “Sudah kamu bayar uang kuliahmu?” tanya ib benar-benar melukai hatinya. Nabil diam sesaat. Tubuhnya melemas. “Nabil nggak uliah dulu ya bu, biar obatnya bisa untk ibu berobat”. Nabil duduk disamping dipan rawat ibu. “Ibu sudah bilang, kuliahmu itu lebih penting.” “Bu, bagi ibu kuliahku yang penting. Tapi bagiku, ibu yang paling penting” suara Nabil tersekat. Kristal bening itu meleleh dari matanya. “Uang kuliah bisa dicari kok bu, yang penting ibu sehat dulu. Nabil pasti semangat” Nabil menyematkan senyumnya. “Apa yang bisa kamu perbuat Bil, sakit ini tetap saja akan membawa ibu pergi. Jadi pergilah sekarang. Bayar uang kuliahmu. Ibu akan senang kalau uang itu digunakan untuk melanjutkan studymu.” Ibu membelai rambut Nabil. “Tapi bu…” suaranya tersekat. “Apa lagi? Ibu nggak minta dirawat. Ibu cuma minta kamu tetap kuliah.”
Bagaimana ia bisa lupa dengan kejadian lima bulan yang telah berlalu itu. permintaan terakhir ibu. Untuk dia tetap belajar. Meskipun dunia perkuliahan bukanlah tempat yang ingin dia tekuni. Tapi kini dia belajar menerima kenyataan dengan baik. Meskipun pelahan-lahan. Awal mula memang terasa sulit. Seperti benar-benar menyiksanya. Dengan jurusan yang juga bukan pilihan hatinya. Itu pilihan ibu. Semua untuk ibu.