Ketika jingga mencoret langit pagi itu, dan mentari pelahan melangkah setapak demi setapak di ufuk timur. Burung-burung kecil bernyanyi melantunkan keagungan Tuhan. Hempasan embun pagi yang meluruh membasahi bumi. Gerakan dahan yang melambai. Tanda bahwa Tuhan tak pernah berhenti mengawasi makhlukNya dibumi ini. Tanda bahwa Dia selalu ingin menunjukkan kepada hambaNya jika kehidupan itu tak pernah berhenti, selalu berjalan sampai tiba waktu akhir nanti. Tanda bahwa alam semesta memujaNya. Bahwa alam semesta mengagungkanNya.
Jika aku menyadari lebih awal hari ini akan tiba, mungkin aku tidak akan merasakan hal yang sesakit ini. Tapi aku percaya, aku sangat percaya bahwa Tuhan tak pernah berhenti mengawasiku. Tuhan begitu menyayangiku. Tuhan tahu bahwa aku wanita kuat dan Dia tak ingin aku berpaling dariNya. Karna itu Tuhan memberikan rasa sakit ini. Rasa sakit yang membuatku tak bisa berhenti meneteskan air mata karna sesalku. Sesal yang menyesakkan dadaku. Sesak yang membuatku berpikir bahawa Tuhan tak adil memberiku rasa yang begitu menyakitkan ini.
Tapi tataplah wajahmu Ken. Apakah kamu pantas berucap seperti itu. Tahukah kamu, Dia punya rencana yang jauh lebih indah dari rencanamu. Dia jauh lebih tahu apa yang lebih kau butuhkan. Dia tahu hatimu terluka, dan Dia juga tahu bagaimana cara menyembuhkan luka itu. Dengan mendekat padaNya dan yakin cinta yang hakiki hanyalah milikNya.
Sebuah garis lengkung terlukis dibibirku. Jika aku mengingat masa lalu terlalu dalam. Tuhan mungkin akan marah lagi padaku. Sudahlah Ken. Tersenyumlah. Kamu punya seribu satu. Tidak!! Bahkan berpuluh-puluh ribu alasan untuk terus tersenyum. Kamu punya alasan untuk tetap melangkah. Kamu punya banyak alasan untuk tetap meraih mimpimu. Kamu punya banyak alasan untuk bahagia. Karna Tuhan akan selalu bersamamu.
****
Pagi-pagi itu aku tak sengaja melihatmu yang sedang melihatku. Entah kenapa aku jadi sedikit salah tingkah. Kamu lalu tersenyum, seolah menertawakan tingkah anehku. Aku langsung saja pergi. Tak ingin lebih mempermalukan sikap konyolku dihadapanmu.
Iya, aku tahu. Kamu Fathur kan, mahasiswa sastra yang berantakan banget. Rambut gondrong, kucel, nggak ada menariknya deh. Malah aku takut melihatmu. Dan hari ini aku harus duduk satu meja denganmu karna kita satu kelompok KKM. Yah, biarlah. Tugasku disini adalah menyelesaikan tugasku. Bukan untuk mengamati dirimu. Aku berharap begitu. Keacuhan itu ternyata tidak membuatmu berhenti ingin membuktikan kepadaku bahwa kamu adalah seorang laki-laki yang menarik. Hoho benarkah. Aku tidak akan tertarik padamu.
Ternyata benar, sang waktu membuktikan bahwa cinta dan benci itu hanya berbeda tipis. Sangat tipis. Bahkan lebih tipis dari lapisan embun yang menempel didahan setiap pagi.
Kau datang dan mengakrabkan diri padaku. Seperti seorang laki-laki yng jatuh cinta kepada wanitanya. Iya, begitulah aku melihatku. Tapi diriku tidak, aku tidak begitu. Aku akan bilang pada diriku agar aku tidak jatuh cinta padamu. Agar aku tetap menjaga prinsip bahwa aku akan lebih senang sendiri tanpa seorang kekasih. Aku disini menuntut ilmu. Aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku.
Namun, Tuhan yang Maha membolak-balikkan hati seorang hamba berkata lain. Entah seperti apa waktu juga ikut menjadikanku seperti itu. Aku mulai tertarik padamu. Rasa tak acuhku menjadi rasa peduliku padamu. Kepedulianku itu tumbuh menjadi rasa ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Setelah mengenalmu ada rasa cinta kepadamu. Cinta itu meluap menjadi rasa sayang dan aku menerimamu hadir dihidupku.
Untuk pertamakalinya aku berani membuka pagar rumahku dan menerima kehadiranmu. Kau tahu, rumahku itu adalah hatiku. Yang sekarang menjadi tempat untuk kamu bersandar. Aku tersenyum, beberapa kali aku tersenyum dan dihatiku terbesit rasa takut pula. Takut jika aku kehilanganmu dan aku takut sakit. Tapi kau berhasil meyakinkanku, meyakinkanku bahwa itu tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi selama kita mengalir, mengalir seperti air.
Aku menulis dibuku tebal tempatku mencurahkan semua isi pikiranku. Beberapa hari ini aku bermimpi tentangmu. Tentangmu yang hadir dirumahku bersama ayahmu. Kamu memintaku menjadi pasangan hidupmu. Tapi lagi-lagi hanya bunga tidur. Tuhan, salahkah jika aku mengamini bunga tidurku semalam. Tidak, bagiku tidak ada yang salah. Kamu harus ingat Ken, harapanmu bisa saja tidak sesuai dengan kehendak Tuhanmu. Ia aku tahu itu. Begitu aku menjawab suara hatiku. Aku akan menjalani semuanya. Mengalir seperti yang kau bilang padaku.
Waktu terus berlalu. Kedekatan kita bukan hal tabu lagi. Aku sudah cerita pada ibu dan bapak. Tapi cuma sedikit. Sangat sedikit. Karena aku tahu mereka akan sangat mengkhawatirkan putrinya yang beranjak dewasa ini. Ibu pernah berkata padaku, sembari mengendarai mobil membelah jalan sunyi karna masih pukul 4 pagi. “Ibu nggak pernah membatasi anak-anak ibu. Karena ibu tahu kalian udah paham batas-batas itu. Kalau berteman, ya berteman biasa aja. Nggak usah berlebihan. Jadi nanti kalau nggak sesuai dengan apa yang diinginkan nggak kecewa”.
“Berteman” kata yang ibu ucapkan. Dalam kamus besar ibuku, selama aku menjadi putrinya, ibu tak pernah bilang ada kata pacaran. Ibu hanya bilang perbanyak berteman. Ini adalah waktu dimana kamu mengenal lebih jauh bagaimana dunia. Mencari pengalaman, mencari apa yang belum kamu ketahui. Mencari jati dirimu. Mencari tahu siapa kamu dan apa yang bisa kamu lakukan dengan nama yang diberikan orangtua untukmu.
Aku hanya tersenyum. Kupandangi wajah yang mulai menua itu. “Ibu sama bapak sudah membekali kalian ilmu, ilmu buat dunia, ilmu buat akhirat, jadi kalian harusnya tahu mana yang baik, mana yang nggak baik, mana yang pantas dilakukan dan yang harusnya tidak dilakukan. Ibu percaya”. Aku kembali tersenyum. Kau tahu ibu, saat itu aku berkata dalam hati “Aku takut, aku takut mencintai seseorang berlebihan. Jadi bantu do’akan anakmu ini bu. Do’akan aku selalu ingat hari ini. Selalu ingat wajah khawatirmu ini”.
Namun tetap saja, waktu tidak mungkin berhenti. Selalu berputar dan tak akan pernah membiarkanmu memperbaiki masa lalumu. Kau hanya akan terus dan terus mengikuti sang waktu. Pagi siang sore malam, pagi siang sore malam, pagi siang sore malam lalu pagi lagi dan begitulah yang akan dilakukan sang waktu. Jika kau hanya menyesali keputusanmu dimasa lalu. Kau tidak akan bergerak dihari ini dan kau hanya akan dibayangi rasa sesal lalu mungkin kau tidak akan sanggup melihat hari esok.
Aku menyayangimu sangat. Sangat menyayangimu. Aku sudah berani mengajukan proposalku pada Tuhan agar kau ada dimasa depanku. Kutulis namamu dalam do’aku. Kuukir indah namamu dalam dzikirku. Aku tetap berharap dan lagi-lagi berharap kamulah kamuku. Kita jalani semua. Suka duka, tangis tawa, marahan. Udah terlewati dan selalu bisa kita lewati.
Seperti sang waktu merestui kita. Seperti dunia ikut merasakan apa yang selama ini kita jalani. Lalu bagaimana Tuhan? Aku kembali tersenyum pilu mengingat. Mengingat kejadian ini. Apa yang sang waktu lakukan, apa yang dunia lakukan tak sebanding dengan kehendak Tuhan. Waktu dan dunia juga bagian dari KuasaNya. Lalu keindahan itu? Hanya semu.
Tuhanku berkata lain. Kita menyudahinya. Mengakhirinya. Itu yang Tuhan katakan melalui hati kecilku. Menjauh darimu adalah yang terbaik saat ini. Serapuh keyakinanku dengan keputusan itu. Aku akan menjalaninya. Aku, aku akan selalu berjalan kedepan walau tak satu jalan denganmu. Kau masa lalu. Masa lalu yang menemaniku berjalan disetapak kecil berbatu yang baru aku lalui. Ini sudah diujung. Sudah saatnya kita memilih jalan berbeda dan meraih apa yang kita ingin raih. Bagaimana ujung jalan selanjutnya, jika Allah meridhoi kita akan bertemu lagi.
Tuhan tidak menghukumku, Tuhan hanya tak ingin aku mencintai hambaNya melebihi cintaku padaNya. Karna itu kan Allah memberiku rasa sakit ini, agar aku kembali lagi padaNya dan menyadari tak akan pernah ada cinta yang seindah CintaNya. Semua ada waktunya kan, Tuhan? Semua akan indah pada waktunya kan. Sakit ini akan hilang kan? Kau akan membantuku menghilangkan luka ini kan? Karna aku tahu Kau mencintaiku. Karna aku yakin ini rencana terindahmu agar aku kembali padaMu. Iya kan?
Tuhan, jinggamu indah sore ini. Sama seperi indahnya jingga fajar pagi tadi. Kau selalu memberikan keindahan. Aku saja yang tak melihat keindahan itu. Sama seperti kebahagiaan dalam hidupku. Kau selalu memberikannya, namun aku lebih banyak melihat kesisi negative, sehingga sisi positif itu tak terlihat olehku. Iya kan? Aku tak melihatnya karna aku terfokus kesisi lain. Sisi yang lebih tak mengenakkan bagiku. Padahal Kau selalu memberikan yang terbaik. Terbaik untuk hambaMu. Karna Kau mencintai hambaMu. Jika ada jalan untuk kembali, tolong tuntun aku dijalanMu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H