Mohon tunggu...
Nikki Khoirunnisa
Nikki Khoirunnisa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Jatuh...lalu bangkit lagi...terus mencoba, jangan biarkan sakit itu menghentikan langkah kecil kita...\r\nitulah yang dinamakan proses...\r\nsebelum berlari, pasti ada proses panjang yang menyertai... :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyumku Dalam Karung

10 Desember 2014   23:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Rumah berlantai keramik yang bening, meskipun tak berlantai dua tapi luasnya sama seperti lapangan sepakbola. Kolam renang dihalaman belakang. Tempat santai disamping kolam, bisa juga untuk belajar bersama. Di halaman depan ada air mancur dalam kolam yang juga berisi ikan hias. Mobil berjajar, merah, hitam dan silver. Tukang kebun ada. Mbak yang masak dan bersih-bersih ada. Supir pun tak mau absen. Juga pak satpam yang selalu siap dipintu gerbang depan.

Itu bukanlah hal yang tidak diinginkan banyak orang. Siapa yang menolak? Hidup didalam istana dengan taburan kebahagiaan, dan tentunya dengan kasih sayang dari orang tua. Kebutuhan cukup. Mau minta yang seperti apa lagi? Aku tak mungkin bercerita bahwa dalam istana ini ada istilah broken home sepeti kebanyakan istana yang pernah kalian jumpai. Tidak. Karena Ayah dan bunda selalu ada untuk kami, putra putri yang mereka bilang cantik dan tampan, sholeh sholehah, rajin dan suka menolong, ramah dan tidak sombong lalu banyak hal positif lainnya yang selalu mereka bisikkan ditelinga kami.

Tidak ada hari sibuk banget. Selalu ada waktu luang untuk putra putri ayah dan bunda. Kami juga bukan putra putri yang bandel dan bukan pula putra-putri yang selalu penurut. Kami anak normal, yang tidak berpikir positif banget dan negative aja. Kami layaknya putra putri ayah bunda yang selalu tersiram rasa cinta. Bukan berarti pula kami anak yang manja. Karena ayah bunda juga bukan tipe orangtua yang mencetak generasi lemah tak berdaya dilingkungan yang saat ini penuh pengaruh globalisasi.

Siang itu pak Yos, supir pribadiku telat menjemput karena harus mengantar abangku pergi kebandara, ada study banding. Jadi aku bilang nggak usah dijemput aja. Aku kan mandiri. Hehe, cengengesan aja. Padahal aku pengen jalan-jalan dulu sebelum pulang kerumah. Aku ingin bermain kerumah Shinta. Dia teman sebangkuku. Anaknya sederhana. Tapi dia agak pemalu dan tak banyak bicara sepertiku. Kita masih kelas 2 sekolah menengah pertama. Kata bunda ini masa-masa remaja. Masa dimana kita masih pengen keppo terhadap lingkungan dan pergaulan. Bunda cuma bilang “Bunda sangat percaya sama Cinta dan Bunda yakin Cinta bisa jaga diri baik-baik karena Cinta putri bunda yang selalu mengikuti kata hatinya bukan keinginannya semata”. “Iya bunda, Cinta selalu ingat” sembari mengangguk dan tersenyum aku mengecup punggung tangan bunda.

Kali ini aku tak berlindung didalam atap besi yang melaju diatas aspal hitam. Aku jalan dengan kakiku, menelusuri gang-gang kecil bersama Shinta menuju rumahnya. Sedikit pegal memang, karna aku nggak biasa jalan sejauh ini. Nggak papa deh, itung-itung cari pengalaman. Astaga, aku lupa. Kurogoh saku bajuku. Mengetik pesan untuk Bunda. Setidaknya aku bilang, biar bunda nggak khawatir. Yap, sudah terkirim. Tugas prajurit untuk melapor udah selesai. Aku tersenyum bangga.

Aku masih mengikuti langkah gadis hitam manis itu. Menelusuri jalan kecil yang bersebelahan dengan parit yang penuh dengan sampah. Ya ampun, tempat ini sehat nggak ya? Pikirku sejenak. “Shin, masih jauh ya?” tanyaku penasaran. Kayaknya udah hampir satu jam aku berjalan. Tapi belum Nampak juga rumah Shinta. “Bentar lagi, diujung jalan ini kok” dia tersenyum, menunjukkan gingsulnya.

Ya ya ya, musti sabar, Cinta. Ucapku dalam hati. Aku masih melihat disekelilingku, ada rumah berjajar-jajar. Kayaknya sih nggak kokoh. Mungkin kalau ada badai, weeeerrr… terbang semua. Ya Allah mikir apa aku ini. Hehehe

“Itu rumah aku” Shinta menjulurkan tangan kanannya. Menunjuk kesatu rumah yang kulihat tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah yang kulihat sebelumnya. “Ayo!!” ajaknya. Ada rasa enggan, tapi masa iya udah sampe sini aku menolak.

Dengan sedikit berat hati, ya cuma sedikit. Aku lalu mengikuti langkah kaki sobatku itu. “Assalamu’alaikum” ucapnya. Tersenyum lalu duduk dibangku depan melepas sepatu lusuhnya. “Wa’alaikumsalam” jawab seorang ibu yang bersuara parau. Mungkin batuk. “Mak, ini ada kawanku” ucap Shinta. Aku lalu memberi senyuman dan ibu itu mempersilakan aku masuk.

Hatiku nggak karuan disana. Tempat berteduh Shinta hampir 3600 berbeda dengan tempat tinggalku. Dinding ini dinding yang mudah hancur da nada beberapa bagian hanya dengan kardus Atapnya pun mungkin akan bocor bila hujan deras. Aku tak melihat adanya jendela. Hanya ada satu pintu dan beberapa ventilasi tempat bertukar udara. Sekeliling rumah juga bukan lingkungan yang sehat. Ada banyak sampah plastik dan botol bekas. Mungkin hasil pulungan. Ayah Shinta sudah lama meninggal. Lalu aku tak begitu tahu berapa jumlah saudara Shinta. Yang aku tahu, Shinta adalah anak pertama.

Shinta siswa yang cerdas. Tak heran dia bisa masuk kesekolah favorit seperti sekolah yang kami huni saat ini. Aku dengar dia dapat beasiswa penuh dari pemerintah, karena dia murid yang berprestasi. Aku bangga sama dia. Kusungging senyumku. s

“Cin..” panggilnya menghambur lamunanku. Ia membawa suguhan. Sederhana. Segelas teh panas dan telo rebus. Hehe menu favorit ayah. Aku tersenyum padanya. “Habis ini aku kerja” ucapnya. Ha, rasa pengen melongo tapi aku heran dalam diam. Berhubung aku keppo jadi aku tanya dia yang ikut diam setelah mendapat respon datar dariku. “Kamu kerja apa an?” tanyaku berbisik. “Aku kerja diloundryan deket sini, Cin” jawabnya. “Owh…ibu kamu?” tanyaku lagi. Dia tersenyum sekilas. “Ibu seminggu lalu kecelakaan. Tangannya kena setrika, jadi untuk sementara aku yang menggantikannya” jelasnya. “Owh, begitu. Jadi kamu kerja untuk menggantikan ibumu” ungkapku manggut-manggut. “Sebenarnya aku juga bekerja yang lain, tapi untuk sekarang, inilah dulu” dia tersenyum. “Kerja apa?” tanyaku makin penasaran. “Tuh…” jawabnya terlihat bangga.

Ia hanya menunjuk dengan bibir yang berkata “tuh”. Didinding itu tertempel sebuah karung cokelat yang terlihat lusuh. “Kerja apa?” tanyaku. “Mulungin barang-barang bekas yang bisa didaur ulang kayak yang kamu liat didepan tadi” ucapnya sekali lagi dengan senyuman yang begitu bangga.

Otak kecilku timbul seribu pertanyaan. Bingung mau bertanya dari yang sebelah mana. “Itu dulu milik ayahku. Ayahku yang bekerja sebagai pemulung. Saat aku lahir, memang kedaan keluargaku seperti ini. Penuh kekurangan. Kami datang ke kota berharap ada peningkatan ekonomi. Tapi ternyata…” dia kembali tersenyum tanpa melanjutkan ucapannya. “Tapi bapak tetap bekerja keras, ia tetap berprinsip bahwa anak-anaknya akan lebih sukses dan tidak ada yang mengikuti jejaknya. Karena itu aku dan adik-adikku sekolah. Itu berkat kerja keras bapak” Shinta seperti mengulang memory saat-saat bersama ayahnya. “Sejak ayah meninggal karena benjolan diotaknya, kami hidup semakin sulit. Adik-adikku putus sekolah. Beruntung aku masih dapat bantuan dari pemerintah. Ibuku bekerja untuk menghidupi kami, belum cukup untuk menyekolahkan adik-adikku. Karena itulah aku ingin membantunya. Setidaknya aku bisa meringankan bebannya dan membantu biaya sekolah adikku. Aku akan bekerja keras seperti ayah, dengan karung itu” Shinta menoleh kearah karung yang tergantung dengan senyuman.

Aku pun ikut tersenyum. Aku sangat beruntung terlahir dalam keluarga yang berkecukupan. Kadang aku tak menyadari hal itu dan mengabaikannya. Memang tak ada satu pun orang yang bisa memilih dikeluarga seperti apakah ia terlahir. Tapi apa pun itu, bersyukurlah. Karena masih banyak yang jauh berada dibawah kita. Ujung mataku terasa basah. Aku mengusapnya.

“Kamu kenapa?” tanyanya tersenyum. “Nggak papa” jawabku sambil mengusap ujung-ujung muara air mataku. “Nikmatilah apa yang ada saat ini. Jangan menjadikan lebih sulit apa yang sudah sulit. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib umat kecuali umat itu sendiri yang merubahnya?” ucapnya bijak. Aku mengangguk dengan anggukan yang sangat setuju. “Itu kata-kata bapak. Aku ingat banget. Waktu itu aku masih kecil dan inilah saatnya aku membawa perubahan itu” ungkapnya optimis. “Kamu pasti bisa kok, aku yakin” jawabku menepuk pundaknya. “Pasti!! Kamu saksinya ya. Lima sampai tujuh taun kedepan aku udah nggak tinggal disini” ungkapnya dengan keseriusan, namun senyum gingsul itu pun menyertainya dan menjulur tangan kanannya. Aku tersenyum dan meraih tangan itu.

Tak terasa senja mulai melukis langit barat. Coretan itu menggambarkan betapa besarnya kuasa Tuhan. Apa pun bisa saja terjadi. Langit senja ini bisa saja tak berwarna jingga. Berwarna lain yang lebih indah seperti kehendak Tuhan. Sama seperti kehidupan. Tuhan sudah melukiskan segalanya dengan sebaik-baiknya lalu usaha dan do’a seorang hamba adalah pelengkapnya. Rezeki itu ada dimana saja, cara mengambilnya pun dengan banyak cara, lalu hasilnya itu tergantung seberapa keras usahanya. Seperti yang diucapkan gadis yang membawa karung cokelat itu untuk mengais rezeki halal dari Tuhannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun