Mohon tunggu...
Lihat Komentar
Lihat Komentar Mohon Tunggu... Dosen - Lecture

Kekuatan Pikiran adalah tak terbatas. Kendalikan pikiranmu, maka kamu akan mengendalikan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hanya Sebuah Efek dari Jiwa yang Letih... :)

21 Agustus 2015   21:11 Diperbarui: 21 Agustus 2015   21:11 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

March 12, 2015 at 4:52pm

 

Dari sebuah percakapan BBM,

Keningau; Kamis,12/03/2015

 

“Kubuka? Soalnya masih tertutup pake kertas. Berabulah nanti. Ringannya. Kayak uang kertas 1 juta rupiah tapi yang lima puluh ribuan.” Kau memastikan tentang paket pesananku yang baru saja kau terima.

“Oo… Gitu ya. Ya udahlah. Kalo belum sempat dibuka, gak usah aja. Ntar berabu”.

“Ia. Sayang kalo dibuka,” sambungmu.

Ia, biarlah, hidup ini memang keras… eh,,? :(

“Hahaha. Akka afa nya? Apa hubunganya?”. Kau bingung sambil tertawa.

“Entahlah, bawaan mungkin. Aku menjawabmu sekenanya.

Wkwkwkwkw.. Bawaan apa?”

“Bawaan curhat.” dan itu jawaban jujurku, dan kau kembali menanggapinya.

Wkwkwkwk. Habis curhat ya? Suit.. suit… Kau malah menggodaku.

“Ia, itu barusan curhat.” Aku berharap semoga kau sudah peka.

“Ohh, hihihi. Salah kamar jadinya ya. Hahaha.” Kau malah kembali tertawa.

 

“Bukan..”

“Tapi keceplosan yang tidak disengaja yang mewakili curahan hati yang tidak terdefenisi, labil dan ababil, abstrak sekaligus absurd dan tidak dapat diukur ketepatannya apalagi tingkatan valid maupun reliabelnya yang jauh dari signifikan terlebih lagi akan menghasilkan kesimpulan yang tidak berujung maupun berpangkal, akan tetapi hanya menjadi potongan-potongan pemikiran yang blur dan berbayang sehingga dapat dipastikan hanya akan menghasilkan kebingungan…” Kontan saja aku ngos-ngosan begitu selesai mengetiknya, dan aku ragu kau paham apa maksudnya.

Teparrrrr aku bacanya…” balasmu.

 

“Akupun tepar ngetiknya” Aku mendelik ragu.

 

“Hahahaha. Kok bisa ya keluar kata-kata seperti itu? Untuk membuat kalimat pertama saja aku gak tamat. Hahahah”.

 

Aku semakin ragu bahwa kau tidak membacanya pelan-pelan. “Itu hanya satu kalimat kok. Baru satu kalimat saja kan bisa bikin tepar. Apalagi kalau satu paragraf? Satu judul? Itulah efek dari jiwa yang letih” :(

 

“Hahaha…Ia, ya. Baru sadar."

“Gak ada titiknya.”

“Dan memang benar-benar satu kalimat.”

“Aduh… Pemikiran ini lah. Pemikiran tingkat dewa-dewi. Pantas saja dijuluki  yang maha mulia.”

Wkwkwkwk... Tiada tandinganlah.”

 

Responmu semakin meyakinkan aku bahwa kau belum menemukan isi yang coba kusampaikan, sehingga kucoba dalam bentuk lain.

 

“Rewrite: Efek jiwa yang letih…”

“Sekeras-keras karang, mestilah juga akan terkikis oleh hempasan ombak yang tidak berujung.”

“Sedalam-dalamnya hati mencoba menikmati nikmat dan syukur hidup, mestilah juga ada kesepian,kerinduan dan kesedihan yang tersamarkan.

“Apa hendak dikata?”

“Tiadalah sanggup tangan menggapai bulan” Aku makin menjadi.

 

“Aduhh, Tambah lebih bahasa isyarat. Aku mulai tepar..” Kau masih menanggapi sama dengan sebelumnya.

Tapi aku sudah terlanjur jauh masuk pengandaian, maka tetap kulanjutkan untuk membingungkanmu.

 

“Demikianlah adanya…

“Dan… Ketahuilah, Itu lebih dari sekedar isyarat. Tetapi menekankan hati yang tersayat.

“Dan anak jaman menyebutnya : Curhat!

 

Lagi– lagi kau tertawa. “Hahahaha. Dan Aku hanya bisa tertawa. Bingung menyambungnya. Sebab bibir tak mampu berucap. Biarlah tangan yang berotoritas pada tombol huruf-huruf… Aishh, Entah apalah awak bilangin”. Kau mencoba masuk dalam perangkap pengandaianku.

 

“Udah hebat itu. Hahahaha”.

Aku menanggapi dengan caramu, meski masih menunggu kau akan bertanya maksudku sesungguhnya.

 

“Edisi membingungkan malam ini,” simpulanmu atas permainan kata-kata yang tak berinai itu.

Tapi aku akan tetap melanjutkan niat pengandaianku.

 

“Hanya saja ketika kebingungan itu semakin membelenggu, kutahu aku akan semakin tidak mampu menjangkau, tetapi sekeras aku mencoba mengejar, aku hanya akan lebih terpental berpencar, selain bibir yang diam meng-aduh pada langit yang tak juga memberi tanda bahwa bulan masih tersenyum dan juga tidak menjanjikan apakah matahari akan berterik atau teduh di esok hari…”Sekali ini aku berharap kau akan semakin bingung dan menyerah untuk menanyakan maksudku yang sebenarnya.

 

“Hahahaha…”

“Aduh,,…Ampun dijelah..” Lagi-lagi kau tertawa.

 

Setelah itu, aku belum menjawabmu. Malah kucoba membuatnya dalam bentuk note, dan kuakui pada akhirnya, akulah yang menyerah untuk tidak bertahan lebih lama lagi dalam pengandaianku. Dan dari kesemuanya, ini hanyalah sebuah efek jiwa yang letih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun