Jakarta, 07 Juni 2014
DIAM-DIAM, sejak aku masih kecil, telah kutandai, kalau hujan pertama musim hujan turun pas pada 25 Oktober, dan sore, pasti kampungku akan tampak lebih memesona dengan mentari di batas cakrawala. Jika sebelum dan sesudah hari itu, alam kacau balau macam tak bertuan. Hujan turun sembarang waktu, sering menjadi badai dan banjir. Kadang ia turun subuh-subuh, merepotkan orang yang ingin pasar pagi, sekolah, sawah dan kantor. Singkat pula waktunya atau terlalu lama, sampai Mei tahun muka.
Kalau ia pertama kali turun pada 25 Oktober, nah, ia akan mengguyur dengan teratur, usai asar biasanya, lembut, berkawan, dan adakalanya syahdu. Karena itu, banyak orang kawin pada bulan Oktober sampai Desember. Delima, angsana, kemang, dan kecapi akan memucuk bersama. Jamur tiong yang indah dan dapat dimakan akan subur. Bunga bakung akan bersemi awal sampai sempat dua kali berbuah sepanjang musim hujan itu. Akibatnya burung punai akan makin besar rombongan migrasinya. Gelap awan selatan dibuatnya.
Tengah hari yang panas akan diusir awan kelabu yang dikirim angin dari barat. Satu masa ajaib yang singkat, meruap. Semua orang mendadak riang tanpa dapat dijelaskan mengapa. Sambil bersenda-gurau, perempuan-perempuan Jawa mengangkat jemuran pakaian yang hampir kering, lalu memekik rara riri, krat krut krat krut memanggil pulang ayam dan entok-entoknya. Lelakinya tergopoh-gopoh meneduhi sepeda dan jemuran batu baterai. Tiap-tiap penghuni kampung memesona ini akan tenggelam dalam kenikmatan rutinitas musim hujan yang manis.
Seperti dugaanku, hujan pertama turun sebelum tanggal 25 Oktober 2013, pun musim panen dan musim kawin menjadi tampak berantakan. Aku turut menjadi makhluk yang meramaikan ketidaksyahduan itu. Awal Desember, salah satu sepupu perempuanku yang jauh lebih muda justru menikah lebih dulu. Tak pelak akupun terpelencat kedalam barisan orang-orang yang ditempeli pertanyaan “Kapan menikah”. Akhir bulan itu juga aku bertemu dengan beberapa teman dari masa sepuluh tahunku, dan mendapati diri sebagai yang paling tergilas jaman, menurut istilah nenek buyutku. Namun tak pernah aku risaukan semua itu, karena ada hal lain yang jauh lebih mampu membuatku merasa seperti lalat hijau yang terperangkap troposfer sore hari. Dan atmosfer kemuraman itu merebak hingga ke Mei tahun ini, 2014, tahun yang sama ketika aku harus mencoba untuk mengambil langkah pertama, sendirian. Tanpa sang Coelho yang mengenalkanku pada diriku sendiri, dan Coelho pertama dalam hidupku adalah Grace Hesty Napitupulu.
DI MATAKU, ia tampak seperti kaum France yang menguasai tata pergaulan paling mutakhir, seperti kumpulan yang terbiasa menghadiri pesta dansa sesering menyusun rambutnya. Lakunya cekatan walau agak sedikit keras menurutku.Nada danirama saat dia berbicara dipadukan dengan kerangka Kaukasia 160 senti yang menyangga tubuhnya semakin menambah aroma france-nya, yang seolah terlahir untuk berdiri di atas podium dan di tonton banyak orang, sangat sempurna dan sedap untuk dipandang mata. Aku bahkan pernah membuat riset untuk membuat perbandingan antara pria yang berbahagia dengan wanita yang iri setengah mati ketika melihat dia berjalan. Dan kesimpulan yang kuperoleh ternyata sungguh adil, 50:50.
Jika ia mengangkat wajah, menyorot dua bola mata yang bening. Alisnya serupa bulan sabit, tatapannya ingin menelan. Kedua mata itu berbicara lebih lancang dan keras dari mulutnya, namun menyimpan rahasia yang dalam, dan semangat yang meledak-ledak.
Pertama kali melihatnya, melihat cara berbicaranya lebih tepatnya, aku merasa sedang duduk di sadel sepeda ongkel tua yang berderak-derak tekun tanpa lelah mengikuti alulan kaleng bak sepeda ketika bersentuhan dengan aspal. Antara terpesona antara kata-katanya yang menggelora terbakar semangat dan kecekatan bola matanya berpadu dengan gerai tawanya yang cukup besar dan panjang. Namun sejak itu, ku kenali diriku sebagai umat udik yang terungkit dan terseret semangat yang ditularkannya, pantang menyerah. Coelho pertama ini menjadi oase, jika niatku sudah mulai kendur laksana kulit yang menggantung di bawah mata nenek berusia 95 tahun.
Coelho kedua dalam hidupku adalah Uwak Katok, atau lebih terkenal dengan nama yang aku sendiri tidak tau apa artinya, Bulang. Tubuh dan usianya sudah renta. Kuduga usianya tak kurang dari 60 tahun.
Dia merupakan manusia yang memandang hidup sebagai kereta kencana yang menawarkan manis hidup yang diimpikan. Bulang hanya akan peduli dan megerjakan apa yang dia suka, apa yang dia anggap benar dan berguna meski ada miliaran alasan yang mencoba mengkudeta semangatnya. Apakah karena dia yang tidak peduli dengan beberapa suara yang gusar atau karena disebabkan kualitas pendengarannya yang sudah kritis, dan menurutku keduanya merupakan rumusan yang akan menghasilkan ilmu hidup yang sama. Aku belajar untuk tetap teguh dan pantang menyerah pada aral yang mencoba menghalangi mimpi di atas pualamku. Dan Bulang adalah pahlawanku.
***
Akhir Februari, secara misterius hujan beranjak ke malam. Ia mengunjungi kampung saban malam dan baru benar-benar lenyap pada akhir maret. Sebuah musim hujan yang sempurna telah sirna. Ia memohon diri lewat rintik-rintik di ujung musim, lalu bersama kawannya sang guruh yang gagah perkasa itu, mereka pergi, tak tahu kemana.
Demikian teoriku tentanghujan pertama pada 25 Oktober dan Mentari di atas cakrawala. Teori yang konyol tentu saja sehingga tak pernah kukisahkan pada siapapun. Ia telah menjadi rahasiaku yang terpendam lama.
Lambat laun teori itu berubah menjadi semacam godaan. Aku sering meyakinkan diriku sendiri untuk mempercayai sesuatu yang dibangun di atas logika yang aneh. Aku, alam, dan hujan pertama, telah membentuk semacam persekongkolan, yang begitu ganjil sehingga di dunia ini, hanya aku yang boleh tahu. Aku malah sering merahasiakannya dari diriku sendiri.
Namun bukankah adakalanya, menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia, menjadi bagian dari indahnya menjalani hidup ini?
Hujan pertama sebelum 25 Oktober tahun 2013 lalu, kembali menggodaku untuk membuat konklusi di atas logika ganjil dan mengulang persekongkolan antara aku, alam dan hujan pertama. Di akhir Mei tahun ini, aku kehilangan dua Coelho oase hidupku sekaligus, karena jarak yang mendepak tanpa ampun dan tanpa basa-basi. Tak ubah kura-kura yang terseok-seok, mencoba menyeret tamengnya, aku melangkah dan melanjutkan pengembaraan dengan tetap mengenang mereka dalam peraduan.
Apakah tahun ini hujan pertama akan turun pas 25 Oktober? Aku hanya berharap, dan masih menyimpan teoriku.
…………………………………………………..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H