Sebenarnya saya bukan pemilih Ahok. Hhehe langsung buka di depan nih. Terakhir kali saya ber-KTP DKI ketika memilih Pak Jokowi dan Koh Ahok maju jadi gubernur. Sebulan kemudian, KTP DKI saya sudah berakhir. dan saya harus memilih antara DKI dan Bekasi. Waktu itu saya sempat ber-KTP dua. Saat ini saya tinggal di Cileungsi pinggiran. Orang bilang Cileungsi coret, karena  berdekatan dengan Bantar Gebang. Singkat cerita, saya warga Bekasi. Sempat menyesal beralih kependudukan, akhirnya tidak bisa memilih Ahok yang memang saya kagumi. Meski begitu "kampanye" Ahok di medsos tetap berjalan. Meski saat ini volumenya berkurang dan rada soft.
Di awal-awal, memang sensitivitas warga medsos terhadap status yang berbau Ahok sangat tinggi. Padahal status saya tergolong biasa banget. Cuma share berita kemajuan yang dilakukan Ahok untuk Jakarta dan mendukung segala kemajuan yang dilakukannya, sudah mendapatkan kecaman luar biasa dari teman-teman yang ga usah saya klarifikasi jelas. Berbagai hujatan sering saya terima. Saya dibilang Islam Liberal, dipertanyakan keislaman saya, nyinyir soal kerudung yang saya pakai tetapi kok membela non muslim. Bahkan dengan tegas mengapling surga yang hanya layak untuk mereka yang non Ahok. Untungnya saya tidak terpancing emosi menimpali mereka, malah cenderung cengengesan sambil mengucapkan terima kasih atas segala hujatan yang mereka hujani pada saya.Â
Dibalas dengan segala argumentasi juga percuma, karena yang ada di kepala mereka melulu dogmatis agama, surga dan neraka. Okelah, kalo menurut mereka, saya masuk neraka karena berbeda pandangan membela pemimpin non muslim. Okelah, mereka sudah punya kapling-kapling surga. So..what ?  Toh saya melihat pada bukti  kinerja Ahok  sudah sangat tranparan, banyak perubahan dia ciptakan selama menjadi gubernur DKI.  Jika banyak yang protes tentang gaya bicara dan temperamental Ahok yang mudah tersulut emosi, yang  pasti ada alasannya doi bersikap gitu. Membenahi Jakarta dan mafia-mafia yang sudah bercokol di segala lini memang nggak bisa lagi pake "yang halus-halus". Diajak terang-terangan aja masih banyak yang ngeles.Â
Terlepas dari siapa Ahok yang kita sudah mahfum adanya, yang pasti saya salut dengan Ibu Nini Hamid, ibu rumah tangga berkerudung lebar dan  berani "tampil beda" menunjukkan pilihannya dalam sebuah buku sarat opini beliau dalam judul "Kenapa Percaya Saya Buat Ahok" Dan, sebuah keberuntungan besar bagi saya mendapatkan kesempatan datang pada acara bedah buku yang dihadiri tokoh utama Basuki Tjahaya Purnama, bersama  Basuri Tjahaya Purnama, dan Nuril Arifin Husen (Gus Nuril ) di Smesco Convention Centre pada pertengahan Januari lalu. Ruangan convention sebesar itu penuh dengan gegap gempita pendukung Ahok dari berbagai daerah. Kabarnya sampai Medan khusus datang untuk acara ini. Tidak sedikit juga dari pengunjung yang berkerudung rapi. Ya, nuansa keberagaman yang kental terasa.Â
Buku yang ditulis Nini Hamid juga diperjualkan di sini. Harganya sekitar 125 ribuan. Ya, cukup tebal, hampir 300 halaman. Saya sempat membuka-buka tersebut sembari menunggu acara dimulai. Hmm...salut bener, ibu rumah tangga yang tidak pernah tertarik apalagi terlibat dalam politik bisa menulis buku setebal itu. Bukan kebetulan, saya memenangkan kuis twitter berhastag #percayasayabuat Ahok mendapatkan hadiah buku. Wahhh senang sekali. Pak Ahok yang datang ke lokasi agak telat karena banyaknya urusan di balai kota, memberikan apresiasi besar kepada Ibu Nini Hamid yang tak dikenalnya, tetapi mau berkorban besar untuk kemenangannya menjadi Gubernur DKI.
Subhanallah ketika saya membaca buku Ibu Nini, sungguh hati saya bergetar. Ibu Nini apa adanya mengungkapkan alasannya harus menjatuhkan pilihannya pada Ahok. Apa yang selama ini mengusik hati saya dan emosi turun naik melihat situasi yang terjadi serasa diwakilkan semua oleh Ibu Nini. Bahasanya sederhana, dan mudah dimengerti. Tuturannya juga dalam logika-logika yang masuk akal jika kita mengosongkan gelas dogma agama yang telah kita yakini. Dalam hal 91, Kitab Suci Bukan Senjata untuk Saling Membenci, secara gamblang Nini mencoba membuka pikiran umat Islam tentang makna kepemimpinan dalam Islam yang didefinsikan dalam pengertian"auliya" dan "ulil amri".
 Ia jujur mengaku memang bukan ahli tafsir dan paham bahasa Arab, Ia hanya ingin mengajak umat Islam berfikir bijaksana tentang makna "keadilan" sifat Tuhan, bagaimana  kondisinya dibalik jika orang Islam sejak lahir hingga akhir hayat berada lingkungan mayoritas non muslim, sudah lazimnya  pemimpin negaranya adalah non muslim..Lantas, apakah ayat pada Almaidah;51 tidak berlaku..Tentu tidak demikian kan. Bila kita meyakini firman Allah,tentu tak berlaku pada hitungan minoritas dan mayoritas.Â
Karena menurutnya, semua perintah dan larangan-Nya pastilah sesuatu yang bsa dilaksanakan dimana pun berada. Makanya di dalam bukunya, ia mempertegas perbedaan antara Auliya dan Ulil Amri yang tercantum pada An-Nisa : 59 dan An-Nisa:48.  Auliya adalah pelindung, sementara Ulil Amri adalah pemimpin politik  atau pengelola negara yang tak ada halal dan haram untuk memilihnya. "Wahai orang-orang yang beriman ! Taatilah Allah dan taatilah Rosul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rosul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.Â
Pada bagian ini yang merupakan terpenting dari bukunya menurut saya, sayangnya Ibu Nini kurang memberikan referensi yang kuat terhadap makna surat Al Maidah ayat 51 yang bertendensi "auliya" untuk menguatkan argumentasinya. Alangkah bagusnya, jika ia menukil tafsiran dari ayat tersebut. seperti yang saya tukil dari sumber Fiqih Menjawab http://www.fiqhmenjawab.net/2016/10/saatnya-membaca-kitab-tafsir-al-maidah-ayat-51/ bahwasanya keluarnya ayat tersebut berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam berhubungan dengan Yahudi dan Nasrani seusai perang Badar - ada yang bilang Perang Uhud.Â
Intinya, latar belakang kondisi saat itu masih tidak menentu, musuh nyata berkeliaran. Lantas bagaimana jika dalam keadaan damai, sebagai Islam Rahmatan Lil'alamin, logikanya pastinya tak akan berlaku tidak adil dengan sesama manusia mahluk ciiptaan Allah juga. Terlebih dalam konteks Indonesia yang sarat dengan kebhinekaannya ; agama, suku, bahasa dan sebagainya. Pemimpin dipimpin oleh rakyat berdasarkan rekam jejak, kejujuran, kemampuan dan amanah serta memiliki cinta pada rakyatnya.Â
Bahkan, Ibnu Katsir sendiri memiliki pandangan berbeda, bahwasanya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang dilarang untuk dijadikan teman adalah mereka yang jelas-jelas sudah terindentifikasi musuh Islam. Ahok...apakah dia ada rekam jejak memusuhi Islam ? Sementara beliau banyak membangun mesjid, mengumrohkan 50 marbot, mengalihfungsikan kawasan prostitusi menjadi taman kota yang nyaman. Subhanallah...saya tak habis pikir kalau ada diantara umat Islam yang memandang Ahok sebagai musuh Islam, penista agama. Hmmm....