Waspada kebangkitan komunisme dan waspada syiah, merupakan narasi yang seringkali dikeluarkan oleh kelompok tertentu, khususnya kelompok radikal dan intoleran. Dalam konteks sebagai pelajaran atau ilmu pengetahuan, membaca sejarah komunisme mungkin tidak menjadi persoalan. Begitu juga ketika kita membaca artikel mengenai syiah. Karena kebutuhan akan informasi, sudah menjadi hal yang mutlak bagi manusia yang hidup di era modern seperti sekarang ini. Namun yang menjadi persoalan adalah, jika komunisme atau syiah ditujukan untuk saling mencurigai dan membenci.
Dalam perhelatan pilkada DKI kemarin, dua provokasi ini kembali muncul. Salah satu paslon dianggap dekat dengan orang-orang komunis, sementara paslon yang lain dianggap bagian dari syiah. Provokasi semacam ini seringkali dilontarkan kelompok radikal dan intoleran. Kenapa provokasi semacam ini terus dimunculkan? Besar kemungkinan untuk saling menjatuhkan paslon. Dampak yang lebih besar adalah, untuk memecah belah keberagaman negeri ini. Jika sudah terbelah, konflik terjadi dimana-mana, kelompok ini kemudian menawarkan kekhalifahan sebagai alternative solusi. Jika ini terjadi, maka bencana bagi Indonesia. Negeri yang kaya akan sumber alamnya ini, bisa terancam hancur dan akan berubah seperti Irak dan Suriah ketika dibawah kekuasaan ISIS.
Jangan meremehkan provokasi bernada kebencian kepada suatu kaum, yang terus dimunculkan di media sosial. Semakin sering provokasi kebencian itu dimunculkan, kita akan menjadi pragmatis dan merasa paling benar sendiri. Seorang ulama NU, Gus Mus, pernah menuliskan statusnya dalam sebuah media sosial, “Jangan berlebihan membenci. Nanti engkau akan menghalalkan segala cara untuk mendiskreditkan orang yang engkau benci dan engkau sendiri.”
Pernyataan Gus Mus ini patut menjadi renungan bersama. Dan begitulah fakta yang bisa kita lihat sekarang ini. Bagaimana seorang radikal yang terus membenci barat, karena dianggap sebagai bagian dari kafir. Karena itulah segala produk yang berhubungan dengan barat, harus ditolak. Tak terkecuali sistem demokrasi, yang sekarang ini dianut oleh banyak negara termasuk Indonesia. Itulah kenapa, kelompok radikal selalu mengeluarkan provokasi mosi tidak percaya kepada pemerintah. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, dipaksa untuk meninggalkan sistem demokrasi, dan menerapkan syariat Islam. Padahal para pendiri bangsa ini, sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari. Itulah kenapa, Pancasila yang kemudian dipilih sebagai dasar negara.
Provokasi kebencian yang berlebihan, jika mendorong seseorang bersikap tidak adil. Kenapa? Karena pihak yang berseberangan selalu dianggap sebagai pihak yang salah. Jemaat Gereja Yasmin di Bogor, sampai tidak bisa melaksanakan ibadah di gerejanya selama bertahun-tahun. Bahkan gereja sampai disegel oleh kelompok intoleran. Hal yang sama juga dirasakan oleh jemaat gereja Philadelphia di Bekasi. Bagaimana mungkin beribadah sesuai agama dan kepercayaannya dilarang? Sementara negara ini tidak pernah melarang warga negaranya untuk beribadah dan memilih agamanya? Bahkan undang-undang pun menjamin akan hal itu.
Kembali mengutip status Gus Mus, yang mungkin bisa jadi bahan kita untuk introspeksi. “Kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Adil itu lebih dekat kepada takwa. Takwalah kepada Allah,” tulis Gus Mus dalam media sosialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H