Seakan-akan seperti alamiah, tensi yang membawa masyarakat dalam ketegangan atas nama perbedaan agama mulai menurun seiring dengan selesainya Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 putaran pertama yang digelar pada 15 Februari silam. Dengan sendirinya, kita tahu bahwa kontestasi politik adalah “biang” dari semua ketegangan yang sempat mencemaskan keberadaan Indonesia sebagai negara yang telah bersepakat untuk memegang kebhinnekaan sebagai landasan kehidupan sehari-hari.
Namun, kita juga harus mengingat bahwa pemilihan kepala daerah, atau pemilihan umum, bahkan pemilihan presiden, adalah konsekuensi sebagai negara yang memilih demokrasi sebagai cara untuk mewujudkan kebhinekaan. Itu artinya, kontestasi politik tidak bisa dihindari. Haruskah kita kembali tegang setiap kali ada Pilkada atau Pilpres?
Di zaman ini, sudah umum kita mengetahui bahwa ketegangan dalam situasi politik disebabkan oleh kabar palsu (hoax) di internet dan media sosial. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, hoax bisa menjadi kendaraan efektif untuk memenangi seorang kandidat dalam sebuah pemilihan politik. Pada Januari lalu, situs media sosial Facebook mulai mengembangkan kerja sama dengan para jurnalis untuk membangun kekuatan literasi baru demi menangkal hoax. Dengan fungsinya sebagai distributor informasi yang lebih bebas dan terbuka, Facebook mulai membangun hubungan agar ekosistem penyebaran informasi melalui media sosial bikinan Mark Zuckerberg itu menjadi lebih sehat.
Pada dasarnya kita tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan orang di media sosial. Pikiran yang tidak jernih ada pada pikiran masing-masing individu. Dan agenda untuk mengacaukan situasi seperti membangun radikalisme dan terorisme melalui hoax adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan sebagaimana yang bisa dilakukan pada media konvensional.
Namun, di pihak yang berlawanan, pikiran bebas kita sebagai individu yang tak bodoh dan tak mudah dikecoh juga tak bisa dikendalikan oleh apapun. Kita harus percaya bahwa internet dan media sosial adalah perlambangan dari kebebasan itu. Kebebasan menyebarkan informasi di internet dan media sosial harus dianggap sebagai upaya untuk membuat dunia yang lebih terbuka dan bebas dari manipulasi. Yang kita hadapi saat ini adalah “sisi hitam” dari kebebasan yang ditawarkan media sosial di mana kebebasan itu juga berarti kesulitan untuk mereka yang ingin menyebarkan hoax.
Facebooksudah benar melakukan kerjasama dengan jurnalis. Dalam arti, setiap pengguna akun media sosial di internet bisa melakukan pengecekan terhadap hoax yang muncul dengan melakukan perbandingan pada informasi yang sama yang dikabarkan di media arus utama. Setiap kali kita merasa melihat hoax di internet dan media sosial, secepat itu juga kita harus mengecek ke media-media terpercaya untuk menjaga pikiran kita bertahan pada kebenaran.
Di Indonesia, demonstrasi menentang Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dengan tudingan penistaan agama sebelum Pilkada 15 Februari silam telah memberikan kita “pemetaan” tentang apa yang cenderung dijadikan hoaxdi internet. Pada dasarnya, kabar palsu dimunculkan untuk membuat nyali dan hasrat kebebasan kita menjadi kecut. Dan dengan demikian, hal-hal seperti rasisme dan fasisme bisa dilancarkan dan seakan-akan ditampilkan sebagai sesuatu yang masuk akal.
Insting sebagai manusia biasa adalah yang paling berperan dalam hal ini. Jika sebuah artikel di media sosial dan di internet telah menebarkan kebencian dan bukan perdamaian antar sesama manusia, maka jelaslah itu hoax. Karena, insting manusia tidak akan menyukai perpecahan dan perang. Insting manusia adalah perdamaian. Dan untuk itulah kitab suci memerintahkan manusia menjadi “pemimpin” dalam kehidupan di bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H