Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persatuan dan Peran Para Elit Politik

21 September 2023   21:19 Diperbarui: 21 September 2023   21:30 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lima tahun lalu kita melakukan pesta demokrasi bernama Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkuasa pada rentang waktu 2019- 2024. Pilpres ini berhasil dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dengan perolehan suara sebanyak 55,50%. Sedangkan lawannya yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno memperoleh suara sebanyak 44.50%.

Karena selisih suara yang dianggap tipis ini, hasil resmi yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 21 Mei 2019 tidak diterima oleh Badan Pemenangan Nasional Prabowo Sandi. Mereka menganggap kemenangan Joko Widodo dan pasangannya penuh dengan ketidakadilan, kecurangan dan kesewenang-wenangan. Karena itu Prabowo Sandi mengajukan gugatan sengketa hasil Pilpres kepada Mahkamah konmstitusi.

Sementara gugatan di MK masih diproses, suasana rivalitas masih saja tercium tajam. Para pendukung seakan sama-sama tidak terima dengan keadaan itu. Dengan selih yang dianggap tipis, mereka masih saja menjagokan pasangan masing-masing. Suasana panas masih sangat terasa baik di kehidupan nyata maupun kehidupan dunia maya.

Namun hal itu reda sebentar ketika ada kabar bahwa istri dari Presiden ke enam Indonesia, yaitu Ny Ani Yudhoyono telah berpulang karena sakit di Singapura. Kabar itu membuat suasana panas karena rivalitas menjadi teduh sebentar. Para elit tidak lagi bersitegang baik di alam nyata maupun di media sosial dan televisi soal perselisihan Pilpres. Mereka bersama-sama menundukkan kepala dan bersedih karena kepergian Ibu Ani Yudhoyono.

Yang paling menarik perhatian masyarakat adalah pertemuan antara Presiden ke lima Indonesia yaitu Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Publik sangat tahu bahwa keduanya tidak akur, bahkan dengan bahasa tubuh saja, mereka dapat menilai keduanya punya perasaan yang tidak saling suka satu dengan yang lain. Hal itu tidak lepas dari peristiwa keluarnya SBY dari kabinet Megawati Soekarnoputri dan kemudian SBY mencalonkan diri dan kemudian menang kontestasi.

Keteduhan itu kemudian diperpanjang lagi dengan pertemuan antara Prabowo Subianto dan SBY. Pada saat gugatan itu diproses di MK, Partai Demokrat dibawah SBY memang menjajaki kemungkinan untuk pindah koalisi ke koalisi Joko Widodo yang notabene meninggalkan koalisi Prabowo, di mana awal partai Demokrat merapatkan diri. Pertemuan itu membuat suasana menjadi baik dan teduh.

Banyak masyarakat merasa salut dan kala itu memuji para elite yang mampu bersikap seperti itu. Rasa salut mereka itu tercermin pada narasi-narasi di media sosial, pada wawancara di media televisi bahkan obrolan di warung-warung kopi. Seketika itu tensi politik yang panas seakan reda.

Banyak orang (termasuk elit politik) tidak sadar bahwa konflik (apalagi bersifat terbuka) antar elit politik, berpengaruh pada akar rumput. Keteduhan karena berita duka cita itu memang efektif meredakan 'keterbelahan' bangsa . Sehingga jika elit politik tidak melontarkan narasi-narasi yang memecah belah akan berpengaruh juga pada masyarkaat luas. Kehidupan akan lebih baik dan tenang jika tidak ada perpecahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun