Sebagai masyarakat berbangsa dan bernegara modern, kita bersama punya landasan negara yaitu Pancasila. Pancasila yang diambil dari intisari kehidupan bermasyarakat di Nusantara (Indonesia) diyakini mewakili semua aura komponen keberagaman mulai dari suku, keyakinan, bahasa , warna kulit dan sebagainya.
Pancasila yang artinya lima asas yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpinan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, sejak keterbukaan teknologi informasi terjadi secara global, banyak sekali pihak yang mempersoalkan Pancasila sebagai landasan negara karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Ini juga yang diyakini oleh beberapa ulama berpengaruh yang diantaranya Abu Bakar Baasyir -- pendiri dan pengelola ponpes Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, Solo- Â yang sering menjadi inspirator bagi tindak kekerasan di Indonesia. ABB- dia sering dipanggil- sempat tidak mengakui Pancasila dalam jangka waktu lama, dan pada tahun 2022 atau setelah dia dibebaskan dari penjara karena usia, akhirnya dia mengakuinya.
Jika ditilik dengan jernih, Pancasila sebenarnya diharapkan bisa menjadi perekat seluruh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam budaya suku dan agama. Karena itu seperti Indonesia yang terdiri dari keberagaman, maka dimana ada Pancasila, disitulah ada semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Pengalaman batin dan fisik bangsa Indonesia yang melewati banyak kesulitan menghadapi kekerasan dari bangsa asing membuat kita sadar bahwa hanya dengan Bersatu, akan tercipta bangsa Indonesia yang damai dan hidup dengan berdampingan. Dengan seperti itu, negara Indonesia akan menajdi negara yang aman, tentram dan berlandaskan Pancasila.
Meskipun Indonesia tidak berlandaskan hukum Islam, tetapi secara garis besar syariat Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Hal itu bisa dilihat dari sila pertamanya yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Ini sejalan dengan ajaran islam dimana mengesaan Allah adalah bentuk dari tauhid. Sebagaimana yang diperintahkan Allah kepada Rasulullah, yang termaktub dalam surat al-ikhlas ayat pertama, "Katakanlah (Hai Muhammad), "Dialah (Allah) yang Maha Esa."
Karena itu, mungkin kita bisa berhenti memperdebatkan hal-hal seperti itu di berbagai ranah. Yang paling miris adalah ranah Pendidikan dimana para murid diajarkan untuk tidak menghargai symbol-simbol negara, termasuk Pancasila dengan dalih tidak sesuai syariat Islam. Akibatnya kita sering menyaksikan para siswa tergagap dalam menyebutkan urutan Pancasila dan tidak bisa menyanyikan lagu kebangsaan.
Di balik kegagapan penyebutan Pancasila oleh para murid ada hal yang lebih dalam yang tidak lagi dimiliki mereka adalah rasa menghargai dan banggsa sebagai bangsa Indonesia. Agama dan kebangsaan begitu dicampur tanpa paham lebih jauh mana batas dan koridornya. Sehingga mungkin saja dalam beberapa decade ke depan kita jauh dari paham kebangsaan itu.
Tidak ada kata terlambat. ABB yang berusia lanjutpun masih mampu merevisi perspektifnya terhadap Pancasila. Tentu para murid dan kita semua tak perlu menunggu setua ABB untuk mengakui Pancasila dalam koridor kebangsaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H