Beberapa tahun ini kita terganggu dengan situasi sosial politik budaya di sekitar dunia nyata maupun dunia maya. Bagaimana tidak, baik saat kampanye Pilkada maupun melihat narasi-narasi di dunia maya kita akan berhadapan dengan berbagai narasi yang provokatif. Narasi-narasi itu tak jarang berisi caci maki atau yang bersifat menjatuhkan pihak lain.
Narasi itu sering berisi konten tanpa mengindahkan sopan santun dan tak jarang juga berisi kemarahan. Mereka juga melontarkannya tanpa mengindahkan waktu, karena terlontar pada pagi, siang dan malam. Mereka juga menggunakan banyak platform seperti facebook, twitter, whattsapp, maupun instagram. Juga melalui platform telegram.
Yang menyedihkan adalah para penyebar narasi-narasi itu adalah pengikut fanatic dari ulama-ulama provokatif. Ulama provokatif di sini karena para ulama itu sering melontarkan ceramah provokatif yang bersifat menyulut pertentangan dan memperlebar perbedaan dengan mengatasnamakan agama. Mereka seringkali melakukan tafsir teks dan tidak mengindahkan factor konteks dalam ceramahnya. Sehingga konteks ayat atau ajaran al-Quran sering dipotong-potong untuk memenuhi hasrat menjatuhkan dan menjelekkan pihak lain.
Para ulama yang provokatif itu biasanya melibatkan diri pada politik atau fanatic terhadap tokoh politik tertentu. Karena fanatic, maka dia mendukung mereka dengan cara yang salah yaitu fanatic dan memakai kendaraan agama yang seharusnya jauh dari urusan duniawi apalagi soal kekuasaan. Mereka mungkin saja mendukung karena fanatisme atau dengan janji-janji tertentu karena para politikus tak akan jauh dari kekuasaan termasuk juga uang.
Konyolnya kebiasaan ini menginspirasi pengikut para ulama itu untuk juga melontarkan narasi serupa, atau bahkan lebih dari yang dilontarkan para ulama itu. Mereka melontarkan secara massif dan tanpa mengindahkan waktu. Inilah kemudian yang harus 'dinikmati' oleh masyarakat awam yang relatif buta soal pengecekan berita maupun teknologi. Mereka menelan mentah-mentah narasi itu dan kemudian menyebarkannya lagi. Begitu seterusnya sehingga seperti yang kita temui sehari-hari dimana kita menemukan narasi menyedihkan itu dimana mana dan kapanpun. Membuat dunia maya dan nyata manjadi gaduh dan saling tak suka.
Situasi ini tentu saja kurang layak dalam konteks penyebaran agama seperti teladan Nabi Muhammad SAW. Karena beliau dan para sahabatnya menyebarkan agama secara tulus dan santun kepada pihak lain dan jauh dari kebiasaan menjatuhkan atau menyerang pihak lain meski berbeda. Kita bisa membaca kisah-kisah indah dari Nabi di beberapa media.
Nabi Muhammad dan para sahabatnya selalu menjadi inspirator hal-hal yang baik, dan tidak pernah menjadi inspirator kegaduhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H