Beberapa waktu lalu kita disuguhkan dengan berbeagai kejadian mengharukan soal pandemic Covid-19. Antara lain ketulusan hati anak-anak kecil yang masih bocah yang ingin menyumbangkan tabungannya untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD) untuk para petugas medis (dokter,perawat dan staf lainnya) yang kini sedang menangani Covid-19 di berbagai rumah sakit di Indonesia.
Beberapa bocah itu malah masih Balita yang belum sepenuhnya faham apa itu virus korona, pandemic dan petugas medis yang bekerja sangat keras , yang kadang kelelahan, menangis sampai ada yang meninggal karena tertular pasiennya.
Kita juga disungguhkan dengan beberapa orang yang dengan tulus menguburkan jenazah pasien Covid-19 karena petugas enggan untuk menguburkannya. Ada juga desa yang dengan tulus menyilakan kuburan di desanya sebagai kuburan jenazah penderita Covid-19. Padahal  di beberapa tempat lainnya, masyakarakat banyak yang menolak kuburan desanya sebagai peristirahatan terakhir penderita Covid-19 itu.
Ada juga wilayah yang bahu membahu untuk memenuhi kebutuhan keluarga penderita Covid-19 yang sedang diisolasi mandiri di rumah mereka. Usaha para tetangga itu mulai dari menyediakan kebutuhan makanan mereka, obat sampai masker yang aman buat mereka.Â
Media sosial sempat memotret satu keluarga penderita Covid-19 dimana masyaraktnya menerima mereka sebagai satu bagian dari tantangan, terlihat gembira dan berprespektif positif. Padahal banyak wilayah lain membully keluarga penderita korona, mengucilkan bahkan menolak perawat yang kost di suatu temat di Jakarta.
Satu sisi ada masyarakat yang mau mengerti dan paham para penderita korona itu dan satunya tidak sepenuhnya paham / tidak menerima para penderita korona itu, sekalipun ada kejadian dimana seorang bupati menjadi benteng untuk menyakinkan warga bahwa penguburan jenazah penderita Covid19 tidak beresiko sejauh sudah mematuhi protap penatalaksanaan penguburan khusus itu. Malah banyak kelompok masyarakat yang memprovokasi masyarakat soal penderita korona. Akibatnya banyak masyarakat yang berliterasi rendah dan tidak punya akses pengetahuan kesehatan yang cukup amat mudah menelan isu-isu yang ditiupkan itu.
Hal apa yang membuat itu terlihat berbeda ?
Yang membuat ini berbeda dada simpati dan kemudian empati. Tanpa simpati yang cukup, seseorang atau satu masyarakat bisa saja tidak peduli dengan apapun soal korona. Sebaliknya jika seseorang atau satu masyarakat peduli dan tidak mengucilkan para penderita Covid-19 maka dia punya simpati dan empati bagi mereka.
Bisa disimpulkan di sini bahwa simpati dan empati adalah kunci bagaimana masyarakat paham dan mengelola situasi seperti sekarang ini sehingga pertentangan dan mungkin konflik tidak terjadi pada masyarakat soal ini.
Simpati dan empati  kita mempercepat pandemic ini berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H