Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memilih Komunitas, Hindari Radikalisme

4 April 2019   04:42 Diperbarui: 4 April 2019   04:58 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Radikalisme adalah hal yang memang harus diwaspadai. Ia mengintai kita dimanapun kita berada. Kini meskipun diklaim bahwa ISIS sudah runtuh tapi bibit radikalisme masih ada di Indonesia. Bahkan di beberapa Negara diyakini masih berkembang meskipun mereka tidak mau menampakan diri secara terang-terangan.

Secara kasat mata bibit radikalisme dapat kita kenal dari berbagai fenomena di sekitar kita. Di Jakarta Selatan ada sebuah keluarga yang semula harmonis menjadi berantakan karena anaknya ternyata terlibat aliran radikal yang dia kenal melalui teman-teman di kampus. Kepala keluarga itu bekerja di salah satu daerah di Kalimantan Timur dan sebulan sekali dia berkumpul dengan keluarga. Keluarga itu punya tiga anak dengan ibu seorang ibu rumah tangga.

Tidak dinyana, anak sulungnya yang pendiam dan belajar ilmu eksakta itu tetiba menghilang selama sebulan. Ayahnya yang berada di Kalimantan serta merta datang dan diupayakan banyak hal agar anaknya kembali ke keluarga. 

Tetapi saberminggu minggu berlaku pencarian tanpa hasil. Ketika sang ayah harus kembali ke Kalimantan untuk bekerja, tetiba anak sulungnya kembai ke rumah dengan perubahan fisik dan perubahan kepribadian yang drastis.

Sulung keuarga yang telah kembali itu kini bersikap acuh, dan lebih pendiam dari sebelumnya. Dia juga tidak menaruh minat pada keluarga. Kuliah dihadapinya tanpa gairah. Kehidupan sosialnya menjadi sempit dan cenderung ekskusif karena dia hanya terbuka pada teman-teman tertntu saja. 

Beberapa waktu kemudian, keluarga tahu bahwa anaknya dekat dengan kaum radikal yang berada di ingkungan mereka. Dan 'hilangnya sang anak' secara misterius adalah pembaitan dia untuk 'selalu setia' pada kelompok atau sel radikal itu.

Di akhir cerita keluarga itu kembali menemukan 'anaknya yang mula-mula' setelah melewati berbagai upaya. Melalui pendekatan keluarga, lingkungan dan teman. Juga memutus rantai dengan teman-teman atau kelompok radikalnya itu. Sungguh tak mudah upaya yang dilakukan keluarga itu karena upaya mencegah tumbuhnya radikalisasi sejatinya lebih mudah dibanding 'mengobati' seseorang yang sudah terjangkiti radikalisme

Ini adalah contoh bahwa bibit radikalisme itu ada di sekitar kita. Ia tidak perlu jauh-jauh dari Suriah atau Filipina. Radikalisme ada dikampus-kampus mahasiswa dan perkumpulan agama yang menyimpang karena mengajarkan kekerasan dalam memahami agama. Pada komunitas-komunitas yang salah.

Karena itu kita tetap harus waspada terhadap semua kemungkinan itu, karena pada hakikatnya radikalisme mengintai di setiap sudut kehidupan kita. Terpenting adalah upaya pencegahannya dengan memilih komunitas yang  bisa memahami ajaran agama yang sesuai dengan konteks kemasyarakatan . Seperti di Negara kita terikat dengan dasar Pancasila yang mengedepankan pluaralisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun