Ada fenonema menarik di Amerika Serikat soal kepercayaan pada berita. Universitas  Quinnipiac merilis riset yang diadakan pada awal 2017. Materi utama yang ditanyakan para peneliti itu adalah seberapa percaya publik pada sumber berita.  Yang mengejutkan bahwa sebagian besar atau 52 % rakyat lebih percaya pada media massa dibanding presidennya.
Pada negara-negara berkembang, fenomena ini mungkin dirasa lebay, tapi di beberapa negara di mana demokrasi berkembang dengan baik, fenomena itu bisa dimaklumi. Karena pada demokrasi, pendapat rakyat amat penting dibanding yang berkuasa. Di samping itu, rakyat pasti punya alasan sendiri dalam berpendapat seperti itu.
Di samping itu, media massa di negara demokrasi cenderung bisa mengolah (baca: mengambil) inti masalah masyarakat dan negara dan diangkat menjadi persoalan yang layak diangkat di media massa. Â Media massa di Amerika juga telah matang dengan soal disrupsi di mana digitalisasi telah mengganti banyak fungsi dalam produksi dan marketing.
Termasuk soal fungsi-fungsi di media sosial yang sebagian menggantikan fungsi-fungsi media massa. Namun, harus kita mengerti  bahwa media sosial di negara maju agak berbeda dengan media sosial di negara berkembang. Seseorang yang punya media sosial di negara berkembang cenderung punya banyak teman. Sebaliknya seseorang di negara maju yang punya medsos, cenderung punya teman terbatas di medsos.
Sebenarnya salah satu fungsi medsos di negara berkembang dan negara maju sama saja, dalam mendistribusikan berita. Satu berita bisa heboh di tangan media sosial. Hanya saja karena karena literasi digital yang lebih baik di negara maju, maka segala hal di medsos sering kali ditanggapi dengan skeptis (ragu) oleh pemilik medsos.
Di Amerika sejak pemerintahan presiden Barack Obama, medsos sering dipakai untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Ini terlihat ketika Barack Obama melakukan kampanye , juga Presiden Trump yang memakai Twitter untuk mengomunikasikan kebijakannya. Twitter Trump jauh lebih cepat dibanding media massa mengumumkan kebijakannya. Sehingga sikap arogansi Trump juga dapat ditangkap masyarakat.
Karena itu, sikap masyarakat AS yang tecermin di riset yang diadakan oleh Quinnipiac University amat dipahami. Mereka jauh lebih percaya media massa dibanding presidennya sendiri, karena media massa punya standar-standar tinggi dalam menangkap sesuatu masalah. Tidak seperti presidennya (dalam hal ini Twitter Trump) yang cenderung banyak menyuarakan kejengkelan , rasa marah dll. Lihat saja bagaimana dia mengangkat soal ketidaksetujuan DPR soal anggaran tembok pembatas Mexico. Satu ide yang dianggap amat kuno dan jauh dari sifat demokratis itu sendiri.
Indonesia memang bukan AS. AS lebih maju dari negara kita. Tapi keduanya sama-sama negara yang menjunjung asas demokrasi. Mungkin kebiasaan masyarakat AS dalam hal media massa bisa kita tiru. Dengan demikian, media massa akhirnya dapat meningkatkan standar karya jurnalistiknya untuk masyarakat.
Selamat hari Pers 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H