Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Narasi Emosional dan Ancaman Perpecahan

31 Oktober 2018   21:39 Diperbarui: 31 Oktober 2018   21:42 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun terakhir ini, politik dalam pandangan saya  lebih menekankan soal kepercayaan pada golongan tertentu. Bukan benar atau salah ( Richard Armour -- penyair USA)

Pernyataan Richard ini memang relevan dengan perkembangan yang sedang marak di Indonesia saat ini. Mereka berpihak pada golongan tertentu dan menjunjung tinggi apapun yang disampaikan oleh golongan itu.  Rasa percaya adalah poin terpenting dalam konteks ini.

Benar atau tidak sesuatu, menjadi nomor kesekian karena benar atau salah tidak menjadi hal penting lagi. Yang terutama adalah keyakinan bahwa pendapat kelompoknya adalah kebenaran itu sendiri dan tidak bisa digantikan dengan apapun. Keberpihakan seakan telah melumpuhkan akal sehat. Keyakinan bahwa pendapat  kelompoknyalah yang benar, menjadi hal penting.

Ini kemudian yang disebut dengan fenomena post-truth. Fenomena ini ternyata menggejala di Indonesia. Berkembang dengan cepat, dan mencapai puncaknya pada Pilpres 2014 dan Pilkada 2016.  Apalagi ketika itu beredar dengan cepat, bahwa ada bumbu soal agama. Sehingga keberpihakan itu lebih meruncing. Bahkan sampai sekarangpun fenomena itu masih ada. Narasi-narasi yang berbau hoaks pun berkembang dan mengacaukan opini orang per orang.

Sejak itulah masyarakat seakan terbelah, menjadi kelompok A dan kelompok B. Keterbelahan itu dibawa ke hal-hal yang lebih luas, seperti politik dan bahkan agama itu sendiri. Masyarakat terjebak pada keyakinan pada kelompoknya dan membela mati-matian. Dengan saling hina dan cela di media social ;  sesama netizen.

Saling bersitegang ini membuat seakan bangsa kita diadu oleh narasi-narasi yang ditiupkan beberapa orang.  Seperti yang kita lihat beberapa waktu terakhir ini jagat maya dan nyata kita ramai soal bendera (panji) Rasulullah oleh satu ormas. Setidaknya ada dua pendapat yang menyertainya. Menjadi runyam karena masing-masing yakin akan pendapat kelompoknya. Di sini berlaku fenomena post truth. Narasi yang mereka sampaikan adalah narasi emosional yang bersifat provokasi. tak sadar bahwa mereka terprovokasi.

Narasi-narasi itu mampu menggerakkan langkah ratusan bahkan ribuan umat untuk menuruti apa yang kelompoknya yakini. Karena keyakinan itu masing-masing dari mereka menurunkan umat untuk membela keyakinannya itu. Mereka sempat berunjuk kekuatan di beberapa tempat.

Kondisi ini tentu memprihatinkan kita sebagai bangsa. Umat Islam di Indonesia berjumlah sekitar 82,5 % dari seluruh penduduk. Dengan fenomena itu kita mendapati bahwa bangsa ini amat rentan oleh hasutan, hoax dan provokasi. Masyarakat kita masih emosional dan belum terlatih untuk berfikir kritis dan rasional.

Karena itu mari, kita merapatkan barisan. Berharap agar masyarakat  bisa terlepas dari belenggu keyakinan yang salah dan berpotensi memecah belah bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun