Emily in Paris, serial netflix yang lagi booming saat ini, karena menonton memang hobi yang menyenangkan bagi saya di sela-sela istirahat melepas lelah.Â
Back to Story, Serial ini mengisahkan seorang wanita muda workaholic yang mengalami culture shock karena harus pindah ke Paris. Ternyata budaya di sana sangat berbeda dibandingkan negeri paman sam, Emily memerlukan effort yang luar biasa untuk beradaptasi di negeri menara eifel tersebut.
Serial ini benar-benar membuat saya jatuh cinta dengan kisahnya, unik karena menggambarkan kehidupan dan budaya di Paris itu benar-benar freedom. Bagi mereka masyarakat asli Paris, Work to live tapi bagi Emily Live to work, merupakan filosofi hidup yang sangat sangat kontradiktif menggambarkan bahwa hidup di Amerika harus kerja keras, sedangkan di Paris, mari bersenang-senang selama kita hidup.Â
Dalam cerita tersebut jam 8 Pagi Emily sudah berlari-lari menuju tempat kerja namun ternyata tempat kerja masih tutup. Tempat kerjanya baru buka jam 10.30, Apaaa? udah mau istirahat siang itu mah. Apalagi di Indonesia, kita harus mengejar absensi, klo saya jam setengah 8 teng harus sudah absen, gak sebanding yah dengan kehidupan kerja di Emily in Paris tadi.Â
Karier atau Personal life
Menjadi workaholic adalah pilihan hidup seseorang, karir adalah segalanya. No time for relaxing, hidup adalah target yang harus dicapai. Setiap hari tidak sedetik pun rasanya membuang waktu untuk hal yang tidak berguna.Â
Time is Money pepatah lama yang menjadi trademark hidup mereka kaum workaholic. Jangan katakan ada personal life didalamnya, yang berisi pasangan hidup, keluarga, anak serta sahabat untuk sekedar berkeluh kesah, it's all about work and money.Â
Ini fenomena yang sudah awam di zaman sekarang ini, baik pria maupun wanita. Menurut survey yang diadakan pada tahun 2014 saja, di negara maju seperti Amerika dan Jepang, hampir 28 persen penduduk wanita usia produktif memilih untuk tidak menikah dan memilih karir.Â
Berbeda dengan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan hal berbeda. Berdasarkan data persentase rumah tangga menurut daerah tempat tinggal yang dihimpun pada 2009 hingga 2013, jumlah perempuan di usia produktif yang menikah tetap tinggi. Usia produktif didefinisikan antara 18 hingga 44 tahun.Â
Tren wanita Indonesia menikah di usia produktif dari 2009 hingga 2013 mengalami variasi dengan kecenderungan naik, rata-rata bertambah 1,54 persen setiap tahunnya. Mungkin perbedaan budaya ketimuran kita yang memunculkan stigma bahwa menikah usia tua itu merupakan hal yang negatif. Dari zaman dahulu, nenek moyang kita memang terkenal menikah muda, malah ada yang menikah diusia 12 tahun terutama jika berada didaerah pelosok yang disertai pendidikan minim.Â
Keluarga adalah Support System kehidupan