Mohon tunggu...
Dwi Kartika Sari
Dwi Kartika Sari Mohon Tunggu... -

Calon dokter, penyuka jurnalisme dan sastra, merasa ada yang aneh ketika lama tidak menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilarang Menyukai Boneka Mickey Mouse

10 November 2011   13:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:50 21275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedang duduk di trotoar, memandang jalan sepi yang disiram cahaya senja. Gadis kecil itu tiba-tiba berlari ke arahku. Rambut ikal sebahunya melayang tertiup angin. Tangan kirinya menggendong boneka Mickey Mouse. “Selamat ulang tahun,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku. Aku menerima jabat tangannya. “Terima kasih ya.” Ia menanggapi ucapan terima kasihku dengan sebuah senyuman.

Aku memperhatikan boneka Mickey dalam gendongannya. Boneka itu agak lusuh. Ketiak kirinya sobek. Busa yang mengisi boneka sedikit mencuat dari tempat yang robek itu. Aku iseng bertanya, “boneka itu untukku?” Dia menggeleng. “Tidak. Ini boneka yang paling kusayang. Tak bisa kuberikan pada orang lain.”

Boneka itu kuperhatikan lebih detail lagi. Rupanya telinga Mickey juga sedikit sobek. Sebenarnya boneka itu sudah tidak terlihat menarik. Agak kumal. Tapi namanya juga benda kesayangan. Menarik atau tidak jelas bukan masalah.

“Ketiak dan telinga Mickey sobek. Boleh aku menjahitnya untukmu,” tanyaku. Lagi-lagi dia menggeleng. “Kenapa tidak boleh?” Dia memeluk Mickey. “Mickey ini memang cacat… Dunia ini dipenuhi oleh hal-hal yang retak. ” Aku bengong. Tidak paham maksudnya. Sepertinya dia mengerti kalau aku bingung. Dia menarik napas panjang sebelum memulai penjelasannya. “Aku suka segala sesuatu yang ketidaksempurnaannya terlihat dengan jelas. Dengan begitu, aku jadi lebih mudah menerima kekurangannya. Karena aku sudah melihat kekurangan itu dengan jelas, aku bisa memahaminya, bisa menerima.”

Aku tertawa kecil. Ada-ada saja, pikirku. Tapi ocehannya belum berhenti. “Segalanya retak. Dan segalanya berarti seluruhnya. Tidak pernah ada yang sempurna. Kita cuma perlu membuka mata lebar-lebar untuk melihat retakan-retakan itu.”

Aku bertanya, “seberapa penting mengetahui setiap retakan yang kamu maksud? Apa kita tidak bisa mengabaikannya saja?”

“Kita harus bisa melihat setiap retakan yang ada. Seperti kataku tadi, kita akan bisa lebih menerima jika paham apa yang retak, mengerti dimana kekurangannya. Kalau kita abai pada setiap retakan, itu artinya kita enggan menerima apa adanya.“

Aku coba memahami kata-katanya. Cukup masuk akal. Tapi masih ada satu hal yang ingin kutanyakan. “Yang retak itu bisa diperbaiki, kan? Bonekamu yang sobek juga bisa dijahit. Kenapa kamu tidak ingin aku memperbaiki bonekamu?” Dia menimang-nimang Mickey. “Yang retak memang bisa diperbaiki. Tapi itu tidak menjadikannya sempurna. Ketiak Mickey yang sobek bisa dijahit. Serapih apapun jahitannya, akan tetap ada sedikit bagian benang jahit yang terlihat. Tidak pernah ada yang sempurna. Kadang memang sulit menerima hal-hal yang retak itu.” Dia tersenyum. “Tapi aku sudah menerima Mickeyku seperti ini adanya. Aku ingin Mickey tetap seperti ini, supaya aku selalu ingat pada perjuanganku yang telah berhasil menerima Mickey apa adanya. Ia tidak perlu jadi lebih bagus untuk tetap kusayangi.

Mickey jadi kumal karena aku mengajaknya bermain setiap hari. Aku hanya mencucui Mickey sebulan sekali. Itu karena boneka Mickey bisa mudah robek kalau terlalu sering dicuci. Apalagi boneka ini memang sudah sobek di beberapa tempat,” lanjutnya.

Aku mengangguk. Sudah paham maksudnya. Tiba-tiba dia balik bertanya, “kamu suka Mickey?” Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Baguslah. Cuma aku yang boleh suka pada Mickey. Karena hanya aku yang bisa menerima Mickey apa adanya.”

Sekarang dia ikut duduk di trotoar, duduk di sebelahku. “Tak ada yang sempurna. Hidup juga bukan sesuatu yang sempurna. Hidup adalah sebuah jalan yang harus dilalui. Di jalan itu, banyak retakan-retakan yang berserakan. Jangan bersedih karena retakan-retakan itu, karena ketidaksempurnaan itu. Yang penting ingat empat hal ini ; Dewa-dewa bukan untuk ditakuti, kematian tidak perlu dikhawatirkan, kebaikan itu mudah dicapai, ketakutan itu mudah ditanggulangi.* “

Dia diam. Mulai asyik bermain dengan Mickey. Aku merenungkan semua kata-katanya. Hidup yang dia jalani di sana pasti telah membuatnya bisa berpikir sedewasa ini.

Ah, usia memang tidak menjamin kedewasaan seseorang. Dia lebih dewasa daripada usianya yang masih sangat belia. Sungguh beruntung. Ya, dia tidak sial. Yang sial ialah orang dengan kedewasaan yang tidak sebanding dengan usianya. Karena itu menunjukkan bahwa hidup yang telah dijalani adalah sia-sia belaka. Sia-sia, sebab waktu yang telah dilewatkan tidak menghasilkan proses-proses yang mendewasakan.

Seperti bisa membaca pikiranku, dia bergumam, “Hidup cuma sekali. Yang sekali itu harus berarti. Dalam yang sekali itu kita harus membuktikan bahwa kita tidak pernah kalah.” Dia bergumam sambil tetap bermain boneka.

Setelah puas bermain sendiri dengan Mickey, dia bangkit berdiri. Dia mencium keningku. “Sudah dulu ya. Aku harus pergi sekarang. Sekali lagi, selamat ulang tahun,” katanya. Lalu gadis kecil itu berlari sambil memeluk bonekanya. Di ujung jalan dia tidak berbelok ke kiri ataupun ke kanan, dia berbelok ke atas. Terus berbelok ke atas, ke langit senja yang keemasan. Lama-lama dia hilang juga dari pandanganku.

Ada satu hal yang membedakanku dengan gadis kecil itu ; aku sempat lahir ke dunia, sedangkan dia tidak. Gadis kecil itu tidak pernah merasakan ulang tahun…

*Filsafat pembebasan menurut Epicurus

: Untuk adikku yang sangat disayang Allah, yang tidak sempat lahir.Setelah sekian tahun lupa, tiba-tiba aku teringat kamu beberapa hari setelah ulang tahun ke-22.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun