Indonesia sudah mulai menurun, tetapi tertutupi karena covid di tahun 2020-2024 . Namun, Indonesia masih tercatat memiliki posisi ke-3 dalam pertumbuhan ekonomi dunia setelah India dan Emirates sebesar 5,5%. hal ini jauh di atas Jerman dan Italy yaitu 1% dan Inggris 0,5%. Hal tersebut bisa dikatakan kondisi kelas menengah di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.Â
Pada tahun 2019 ekonomiMenurut Data BPS menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan terus menurun menjadi 9,03 persen per Maret 2024, terendah dalam satu dekade terakhir. Tetapi ironisnya jumlah penduduk kelas menengah juga mengalami penurunan drastis.Â
Selama lima tahun terakhir, sebanyak 9,48 juta orang telah turun kelas. (https://bandungkab.bps.go.id/id/news/2024/09/17/110/kelas-menengah-di-indonesia-sulit-kaya-namun-rentan-miskin-.html). Sehingga laju pertumbuhan ekonomi nasional bisa tersendat.
 Lalu apa alasan yang membuat jumlah kelas menengah semakin menurun ? Tentu ada beberapa alasan yang menyebabkannya. Salah satunya adalah melemahnya sector manufaktur yang merupakan peluang besar di Indonesia untuk orang-orang yang sebagian besar lulusan SMA atau SMK.Â
Namun, faktanya banyak home industry pabrik-pabrik yang gulung tikar karena impor produk-produk dari China yang bebas masuk ke Indonesia akibatnya banyak tenaga kerja yang korupsi. Menanggapi hal tersebut pemerintah beranggapan bahwa kaum kelas menengah dapat menghadapi permasalahannya sendiri meskipun mereka sering terancam PHK.Â
Sehingga, para karyawan yang terkena PHK banyak yang banting setir misalnya membuka usaha yang modalnya meminjam dari bank, bahkan banyak yang menjadi driver ojek online. Masalah yang dihadapi saat ini adalah transportasi public di Indonesia yang belum merata. contonya lapangan pekerjaan yang tersentralisasi di Jakarta maupun kota-kota besar, padahal banyak pekerjaann yang ada di daerah luar tetapi transportasi belum memadai seperti di Jakarta.Â
Belum lagi permasalahan yang timbul yaitu penghapusan BBM subsidi sehingga harga barang naik dan rakyat pun menjadi susah. Hal itu membuat beban mereka semakin berat karena biaya hidup keluarga yang semakin bertambah tanpa adanya jaminan sosial. Mereka semakin sulit untuk mengakses layanan pendidikan dan memiliki rumah sendiri yang berdampak pada utang bank bahkan terjerat pinjol.
Biaya hidup yang terus menerus bertambah berdampak pada perubahan pola belanja kelas menengah, mereka harus mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan- kebiasaan lama seperti makan di restoran setiap hari, berbelanja barang branded yang merupakan produk impor dan hangout yang berlebihan. Menurunya pendapatan yang dibarengi degan bertambahnya pengeluaran kelas menengah menurun. Mereka sudah tidak peduli branded yang penting bisa membeli barang yang dibutuhkan walaupun dengan kualitas buruk.Â
Melihat hal tersebut, perusahaan memberi diskon besar-besaran guna mengurangi stock gudang yang menumpuk untuk mengurangi kerugian yang cukup besar. Padahal cara tersebut justru berisiko karena laba mereka semakin menipis dan lambat laun bisa membuat perusahaan tersebut rugi dan akhirnya bangkrut. T
ak hanya itu pemberian diskon secara besar-besaran juga membuat masyarakat beranggapan bahwa barang tersebut sudah turun kualitasnya dan jika suatu saat perusahaan tersebut kembali bangkit masyarakaat sudah tidak mau membeli barang tersebut dengan harga awal karena adanya efek ketergantungan tersebut.
Bagaimana cara pemerintah bisa membuat kebijakan yang pro kelas menengah ? Justru yang dilakukan makin mencekik seperti TAPERA, Pajak Naik, harga BBM,biaya tol naik, gas 3 kg dipersulit dengan ditarik/ dihapus.Â