Rabu pagi kemarin lusa, saya datang ke sekolah si bungsu di bilangan Depok  Lama, bersama dengan dua orang tua murid lain untuk urusan sekolah. Kami mengikuti standar protokol kesehatan. Jalan menuju ke sekolah sangat longgar.
Tak seperti biasa yang saya lihat terakhir kali di bulan Maret lalu, jalan raya yang macet dipenuhi kendaraan, pedagang di pinggir jalan, pejalan kaki di trotoar, para ojol yang menunggu orderan, dan suara riuh anak-anak SD di dalam gerbang sekolah. Kontras! itu yang bisa saya gambarkan ketika tiba di gerbang sekolah.
Pelataran sangat lengang. Pos security yang biasanya ramai pun seakan tak berpenghuni. Menuju ke arah kantin sekolah, blass! tak ada apapun. Jajanan yang biasanya diserbu anak-anak saat istirahat, termasuk orang tua yang sedang menunggu anaknya, bersih tak berisi.
Senyap, saat menapaki teras kantor sekolah. Biasanya di teras itu, saya sering melihat anak-anak bermain bergerombol sambil menunggu dijemput.
Entah kenapa ada rasa nelangsa melihat pemandangan kosong seperti itu. Bagaimana perasaan guru-gurunya, ya? jika saya saja yang cuma orang tua murid merasakan kesedihan dan kehampaan melihat gedung sekolah yang sepi.
Masjid sekolah yang biasanya ramai di dalamnya, mengingat anak-anak selalu ada aktivitas dalam masjid tersebut, entah mengaji, salat dhuha, menghapal Al Qur'an, menjadi hening saat ini.
Entah bagaimana kondisi kelas anak-anak. Saya tak mengunjungi bagian dalam sekolah. Yang pasti kelas pun kosong melompong. Andai ruangan itu bisa bicara, mereka mungkin akan bertanya-tanya, mengapa tak ada lagi anak yang belajar dan guru yang mengajar? Mengapa tak ada lagi yang menduduki kursi dan bersenda gurau?
Saya, meski tidak setiap hari datang ke sekolah, tetapi cukup sering mengunjungi sekolah dalam rangka menjemput si bungsu, bertemu guru, bertemu dengan sesama orang tua  untuk mengadakan rapat atau sekadar berkumpul. Ya berkumpul, menjalin silaturahmi antar sesama orang tua murid.Â
Berkumpul atau berkerumun yang kini menjadi satu kegiatan yang dilarang jika tak sesuai aturan, bahkan ada sanksinya jika dilanggar.
Duh, tak pernah terbayangkan sebelumnya, suatu kegiatan positif menjadi hal yang mengkhawatirkan untuk dilaksanakan. Tak ada lagi yang berani berkumpul beramai-ramai. Siapa juga yang mau tertular atau kena sanksi hanya karena berkumpul. Itulah realita yang kita rasakan dan hadapi sekarang.
Saya sempat membayangkan, bagaimana perputaran roda ekonomi di seputar area sekolah itu berhenti tiba-tiba. Kantin tak lagi menjajakan makanannya. Driver ojol yang biasanya berkerumun di luar gerbang sekolah menghilang entah kemana.