Tangan kirinya melingkar di leherku dan :” BUG!!!!” Tangan kanannya yang mengepal itu meninju pelipis kananku.
“Auw!!!” Aku menjerit menahan rasa sakit yang menyerang pelipis kananku. Air mata menetes di pipiku. Makin aku menangis, pria berbobot sekitar 80 kg, yang telah belasan tahun berstatus suamiku ini makin kelihatan kalap, dia sama sekali tidak merasa iba padaku. Matanya melotot, mulutnya bergerak-gerak, seolah ingin menerkamku.
“Saya minta maaf pa, saya salah, saya tidak cakap mengelola keuangan, saya tidak pandai mengatur uang belanja.” Tangisku memohon belas kasihan.
Tapi :” BUG!!!” Kembali tinjunya mengenai kepalaku, kini bagian atas kepalaku yang kena tinju pas di atas ubun-ubun. Aku merasa pening.
Aku berdoa dalam hati :” Oh...Tuhan kenapa tak ENGKAU buat aku pingsan saja, kenapa aku begini kuat?” Tanyaku dalam hati.
Belum ada jawaban dari Tuhan tentang pertanyaanku, tiba-tiba tinjunya sudah mendarat lagi di alis kananku. Aku merabanya, ada benjolan sebesar ayam kampung terbentuk di sana.
Air mataku makin draes, tubuhku yang berbobot 42 Kg tentu tidak sebanding dengan tubuhnya yang tinggi besar itu.
Aku terduduk, tubuhku terlalu ringkih untuk menahan segala segala seranganya, yang aku heran aku masih tersadar dan mampu membuka mata.
Ku dengar langkah kakinya menjauh meninggalkankku, aku menarik napas dalam, ada perasaan sedikit aman ketika kurasakan dia makin berjalan menjauh.
Ku dengar dia keluar rumah dan menutup pintu. Aku memberanikan diri mengangkat kepalaku, mencari keberadaannya.
Kudengar deru mobil meninggalkan garasi. “Huh....” aku bernafas lega akhirnya dia pergi.
Dalam hati aku berdoa :” Bapa, bila ENGKAU ijinkan jangan biarkan suamiku pulang malam ini.” Ibaku padaNYA.
Tapi doaku rupanya tidak didengar Tuhan.
HP-ku bernyayi, dari suamiku :” Jemput saya di bengkel!” Perintahnya.
Aku tercekat, tubuhku menggigil karena rasa takut yang tiba-tiba menyerangku, tapi aku tetap melangkah, mengambil kunci mobil dan mematuhi perintah suamiku, menjemputnya ke bengkel.
“Jadi kau pakai apa saja uangku selama ini?” Tanya lagi sesaat setelah dia duduk di sampingku.
Aku belum sempat memberikan jawaban ketika tinjunya kembali melayang.
“BUG-BUG!!!!” Kali ini 2X, langsung mengenai pelipis kiriku. Mobilku oleng, berbelok ke kanan dan ke kiri tidak terarah, tapi hanya sesaat, aku kembali berhasil menguasai kemudi lagi.
Air mataku kembali menetes, membasahi pipiku.
Betapa uang memang lebih berharga dari nyawa. Aku tidak bisa memungkirinya, tapi inilah dunia.
Mungkin suamiku lebih senang aku mati dan asuransi jiwa atas namaku keluar, sehingga uang-uang nya yang ikut terpakai untuk belanja bisa terganti. Tapi dipukuli beberapa kali aku tetap tegak berdiri, tidak mati-mati. Mungkin Tuhan punya rencana lain atas hidupku.
Suamiku lebih senang melukai tubuhku bahkan jiwaku karena uangnya yang hilang.
Aku memang pencuri, maling. Aku mencuri uang suamiku. Uang itu terpakai untuk menambah kebutuhan sehari-hari yang terkadang di luar dugaan, mula-mula kecil, lama-lama menjadi banyak, aku belum bisa menggantinya, karena aku hanya ibu rumah tangga biasa yang tidak punya penghasilan. Tapi aku sama sekali tidak menduga suamiku akan semarah itu. Aku tidak menduga betapa suamiku lebih mencintai uangnya dibanding keselamatan nyawa istrinya.
Kisah ini kisah nyata. Masih banyak, kisah-kisah lain yang akan saya ceritakan tentang “Bahwa bagi sebagian orang, uang masih lebih berharga dari nyawa sekalipun.”
Karena kisah diatas ini saya ingin sekali mendirikan sebuah yayasan yang bisa membantu ibu-ibu yang mengalami nasib seperti saya, saya ingin mengajak ibu-ibu yang tergerak hatinya untuk bisa mengumpulkan dana bersama-sama, kemudian membantu rekan-rekan yang dalam kesulitan seperti ini.
Dulu saya tidak mampu memahami, kenapa orang yang mengalami kesulitan ekonomi banyak yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kini saya tahu dan bisa merasakan apa yang mereka rasakan.
Pada cerita selanjutnya saya akan bercerita tentang :
1. Seorang Ibu bernama Tanti yang biduk rumah tangganya terancam kandas, karena masalah keuangan.
2. Seorang Ibu bernama Euis, yang dihukum suaminya selama hampir 7 tahun juga karena masalah uang.
3.Ibu Arin, yang harus menjalani hidup dalam pelarian.
4. Ibu Riana yang terpaksa mengakhiri hidupnya di lantai kamar mandi juga karena hal ini.
5. Ibu Dwi, yang hampir tiap bulan tidak memegang uang serupiahpun.
Mereka bukanlah ibu-ibu yang jahat, mereka tidak melakukan tindak kriminal, mereka bukan pemabuk, mereka istri-istri setia yang rajin berdoa ditempat ibadah, mereka juga berjuang untuk melepaskan diri dari kesulitan, tapi sampai saat ini belum ada pertolongan yang mampu melepaskan mereka.
Hidup mereka di bawah tekanan dan ancaman dan bisa sewaktu-waktu mengambil keputusan untuk bunuh diri.
Saya punya kerinduan menyelamatkan ibu-ibu yang mengalami nasib seperti ini dengan :
1. Pendampingan ahli
2. Pendampingan rohaniwan.
3. Yang paling penting dan paling utama : “ mengucurkan dana untuk membebaskan mereka.” Lalu mencarikan mereka sumber pendapatan dan penghasilan yang halal dan diberkati, sehingga bisa membuat mereka merasa berharga lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H