Jam 19:00, aku sampai di rumah. Ibu, bude dan Bulan duduk mengelilingi meja makan, menungguku yang sedang cuci tangan untuk segera bergabung dan makan malam.
Sebelum makan, kami berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
"Roti lapis daging ham buatan bude sungguh enak," puji Bulan sambil menatapku."Mbak, tumben pasang muka lesu begitu," celetuknya tiba-tiba.Â
"Iya, kamu kayak ada pikiran. Ada apa?" tanya ibu sambil membagi kerupuk udang ke piring kami masing-masing.
Aku menceritakan kejadian tadi siang di kedutaan Republik Rakyat Tiongkok.
"Ternyata kejadian seperti itu tidak hanya menimpa orang Indonesia. Selama di Singapura, bude sudah banyak bertemu orang kita yang jadi tenaga kerja ilegal gara-gara ditipu agen tenaga kerja. Banyak sekali perempuan muda cantik dari desa yang tertipu dan dipaksa kerja di klub malam," komentar bude dengan berapi-api. "Nasib orang miskin di seluruh dunia sepertinya sama. Jadi permainan korban tipu daya manusia serakah," lanjutnya dengan kesal.
Bulan langsung terdiam dan bengong.
"Lan, kenapa mendadak bengong?" tanyaku menyenggol sikut tangan kirinya.
"Aku terpikir nanti waktu jadi politikus mau fokus mengurus masalah kemanusiaan," jawabnya dengan penuh percaya diri sehingga, membuat kami tersenyum.
"Sudah, nanti kita bantu mendoakan gadis itu supaya bisa selamat pulang ke rumah bertemu ibu dan tidak terjerat tipu daya lagi," kata ibu berusaha menenangkan suasana yang mendadak jadi panas.Â
"Tapi, mbak! Pak Ma, hebat sekali berani membiarkan data rahasia itu bersama mbak seharian," Bulan masih semangat membahas. "Aku boleh lihat?" tanyanya penasaran.Â