Sekitar 1 jam menunggu muncul Shid, pria Bangladesh seusiaku berwajah bulat dengan tinggi sekitar 1,70 meter dan bertubuh sedang.
Kami bertiga berjalan menuju parkiran mobil. Xu dan Shid duduk di depan. Aku sendirian di belakang. Rasa letih dan lapar membuatku tertidur setelah mobil berjalan sekitar 10 menit. Aku akan berada setahun di kota ini sehingga tidak tertarik untuk segera menikmati pemandangan kota.
Saat tertidur lelap, terdengar suara Shid memanggil namaku. "Bintang! Bangun! Kita sudah sampai asrama." Aku segera bangun dan turun.
Di depanku berdiri gedung warna putih 3 lantai. Asrama universitas Peking. Menurut kabar yang kuterima, tiap kamar dihuni 2 orang. Aku penasaran dengan orang seperti apa aku akan tinggal.
Kang Xi Ka, seorang gadis imut periang berkaca mata dengan rambut kempang dua asal Shanghai menjadi teman sekamarku. Matanya bulat tidak kecil seperti kebanyakan penduduk asli. Sifat kami yang sama-sama periang dalam sekejap membuat kami akrab.Â
Setelah kenalan dengan sebagian penghuni asrama dan melihat fasilitas, aku ke kamar untuk mandi dan istirahat. Jam di dinding menunjukkan waktu 16:15. Jam 18:00-19:30 di ruang makan tersedia makan malam. Kami bebas pilih waktu untuk makan di antara jam itu. "Kamu pasti lapar. Nanti jam 18:00, kita makan bareng," ajak Kang Xi Ka.Â
Saat jam makan malam tiba, aku kagum melihat tumpukan sayur, daging, nasi serta buah. Kami bebas mengambil sesuka dan sekenyang kami. Buah dan sayur aku ambil terlebih dahulu.
"Bintang, diet?" tanya Kang Xi Ka bingung. "Tidak. Aku ini lebih suka sayur daripada daging. Â Makanan pesawat sangat sedikit dan tidak enak. Selain itu hampir 16 jam waktuku habis untuk duduk. Makanya aku ingin makan sayur dan buah terlebih dahulu untuk memulihkan tenaga," jawabku.
Seminggu di Beijing ada hal yang membuatku terkejut luar biasa. Teman asrama dan kuliah asli Tiongkok semua anak tunggal tidak ada saudara. Aku tahu Tiongkok ada kebijakan 1 anak tapi, saat bertemu dan mendengar langsung bahwa temanku tidak punya saudara, entah kenapa hatiku terasa hampa dan sedih.
Indonesia lebih beruntung ada program keluarga berencana dengan slogan 2 anak cukup, tapi kenyataan banyak yang punya lebih dari 2 anak. Entah kenapa mendadak aku mengkhawatirkan kondisi menjadi tua di Tiongkok dengan 1 anak karena terpikir betapa berat beban yang harus ditanggung sendiri oleh 1 anak.
Setelah seminggu, aku berhenti bertanya jumlah saudara ke kenalan baru asli Tiongkok. Hingga 6 bulan kemudian saat sedang menikmati liburan musim dingin aku pergi ke Shanghai bersama Kang Xi Ka dan menginap di rumah orang tuanya. Kang Xi Ka mengajakku bermain ke rumah teman sekolah dia bernama Mao Hui seorang pria kulit kuning langsat bertubuh tinggi atletis.