Mohon tunggu...
Kartika Hidayati
Kartika Hidayati Mohon Tunggu... -

Guru di SMK Muhammadiyah 1 Tegal. Redaktur Pelaksana Majalah Tajdid (Untuk Dakwah dan Pendidikan- Terbitan PDM Kota Tega)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan pun Reda

31 Desember 2012   08:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:44 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber foto:viraaa.wordpress.com

Seperti kamu pernah menuliskan cerita “reda”. Pagi ini ketika tawa belum terkembang, aku ingin membagi hujan. Ingin membagi resah awan yang mengabu, ingin membagi rintik yang setia menemani daun. Kupikir hujan akan menjadi memori hati yang mengabadi, dalam masa, dalam pergantian tahun. Ini akan menjadi hal yang sesekali menyeruap. Kembali mengingatkan kita pada satu masa yang telah lalu.

Kau masih ingat, tentang rintik itu? Tentang baris-baris hujan yang bernyanyi. Tentang nasi bakar yang dibayari. Tentang impian yang kita lukis di langit mendung. Bahwa kita mampu hidup bahagia. Kita akan melangit hingga langit ketujuh. Sementara kita masih saja menanyakan adakah kulminasi? Di mana akan kita jumpai titik tertinggi?

Lantas kita saling membagi hati. Aku adalah sebelah sayapmu. Kamu adalah sebelah sayapku. Sepertinya ini akan menjadi dongeng sampai kita lusuh dan beruban. Menjadi nenek dengan banyak cucu. Lalu cerita kita, akan menjadi dongeng pengantar tidur yang mengalahkan kisah sepatu kaca. Maka, hari ini pun aku berkaca. Aku melihat ada hujan di mataku. Kurasa kamu pun demikian, pagi ini kamu menyimpan hujan dalam matamu. Sedang di sana ada kemarau yang membuat daun-daun kering. Lalu mampukah kita menjadi hujan untuk kering daun? Untuk rumput yang dahaga? Untuk telaga yang gersang?

Semalam kau berkabar musim semi yang menjadi cinta pertamamu. Yang kau bilang adalah mimpi sempurnamu, tidak menjadi musim dalam hidupmu. Aku tahu, hatimu terluka. Ada sesayat luka yang mengapung. Lalu, apakah hujan semakin membuatmu dingin? Membuat lukamu perih? Tidakkah kau coba berpikir? Bahwa di luar sana masih ada daun yang hijau, masih ada merah mawar, masih ada biru langit. Dan kalau kita sabar menunggu sebentar lagi, hujan pun reda. Dan kita bisa kembali berlari menemu cahaya. Tentang musim semi, kita akan menjemputnya. Segera. Allah yang akanmengantarkannya untuk kita.

Tegal, 6 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun