Mohon tunggu...
DeeDee Kartika Djoemadi
DeeDee Kartika Djoemadi Mohon Tunggu... -

Sociopreneur, Founder & Owner of PT Ciptadaya Resources, PT Imagia Insightama, PT Spindoctors Indonesia, Committee of Kadin Indonesia, Junior Chamber International (JCI) Indonesia, HIPMI, REI, LPPP and PP PERBASI.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa UU Migas No 22 Tahun 2001 Dianggap Pro Asing?

5 Desember 2012   00:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:11 3835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

UU Migas No 22 Tahun 2001 memang sangat kontroversial, tak kurang dari 3 kali telah diajukan untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi, terakhir pada bulan Maret 2012 lalu oleh PP Muhammadiyah dan beberapa organisasi Islam lainnya serta tokoh-tokoh penting negeri kembali mengajukan uji materi, khususnya pasal yang mengatur mengenai keberadaan BP Migas dan BPH Migas yang disinyalir sarat kepentingan asing.

Ada beberapa hal yang menyebabkan UU Migas No 22 Tahun 2001 dianggap sarat kepentingan asing, yang pertama adalah proses pembuatan UU ini dibiayai oleh USAID dengan tujuan agar sektor migas diliberalisasi dan terjadi internasionalisasi harga, yaitu harga-harga domestik migas disesuaikan dengan harga internasional. Selain itu juga agar pihak asing boleh masuk ke sektor hilir yang sangat menguntungkan, bahkan resikonya lebih kecil dibandingkan sektor hulu.

Pertama kali draft Rancangan Undang Undang ini diajukan oleh Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto pada masa pemerintahan Presiden Habibie, tetapi saat itu ditolak oleh DPR RI atas saran Rizal Ramli yang saat itu menjadi penasehat ekonomi di DPR RI untuk empat Fraksi, yaitu Fraksi Angkatan Bersenjata, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi PDIP.

Kemudian selama pemerintahan Presiden Gus Dur, Rancangan Undang Undang ini nyaris tidak ada kemajuan karena pada saat itu ditolak oleh Kwik Kian Gie yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan.  Kemudian setelah Kwik Kian Gie menjadi Kepala Bappenas jabatan itu dilanjutkan oleh Rizal Ramli yang juga menolak draft RUU tersebut.  Bulan Juli 2001, pemerintahan Gus Dur jatuh, berganti dengan pemerintahan Presiden Megawati, Rancangan Undang Undang ini kemudian diajukan kembali ke DPR RI dengan sangat cepat oleh Boediono dan Purnomo Yusgiantoro dan selesai pada bulan November 2001.

Setelah itu, Kedutaan Besar Amerika dan USAID mengirim laporan ke Washington DC bahwa UU Migas No 22 Tahun 2001 telah berhasil diselesaikan, hal ini penting untuk kepentingan bisnis Amerika di sektor migas di Indonesia. Pembuatan undang-undang yang dibiayai oleh asing biasanya banyak prasyarat dan conditionalities nya, dan sering diiming-imingi dengan pinjaman, yang dikenal sebagai "loan-tied-law" atau undang-undang yang dikaitkan dengan pinjaman.

Dalam sejarah legislasi di Indonesia, pembuatan undang-undang dengan model "loan-tied-law" ini sangat sering terjadi, misalnya saat ADB menawarkan U$300.000.000,00 dengan syarat Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Privatisasi BUMN.  Lalu Undang-Undang Privatisasi Air dipesan oleh Bank Dunia dengan memberikan pinjaman U$400.000.000,00. padahal air yang didalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan sebagai dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pun mau diswastanisasikan.

Undang-Undang Migas pun merupakan undang-undang yang termasuk dalam kriteria itu, oleh karenanya tidak mungkin tujuannya benar-benar untuk mensejahterakan rakyat. Sudah pasti ada kepentingan strategis, kepentingan bisnis di belakangnya yang ikut mendompleng persyaratan daripada undang-undang tersebut.

Kebanyakan produk legislasi dengan model "loan-tied-law" ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, karena merupakan pintu masuk dari proses liberalisasi dan neoliberalisasi dibidang ekonomi. Seharusnya, pembuatan undang-undang tidak boleh diintervensi dan dibiayai oleh pihak asing, harus dibiayai sendiri oleh APBN, sehingga undang-undang tersebut benar-benar dapat melindungi kepentingan rakyat. Tidak mungkin pihak asing mau membiayai pembuatan undang-undang tanpa melibatkan kepentingan strategis mereka.

Selain itu juga mengenai standarisasi harga migas yang dalam UU Migas No 22 Tahun 2001 harus mengikuti standar internasional. Negara-negara di Asia yang berhasil mengejar ketinggalannya dari barat, tidak langsung menyesuaikan harga migas mereka dengan harga internasional, tapi terlebih dahulu mendorong dan memacu pertumbuhan ekonomi di atas 10%, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, baru kemudian harga-harga produk disesuaikan. Ada perbedaan mendasar dengan apa yang dilakukan di Indonesia dengan di negara-negara lain yang berhasil memakmurkan rakyatnya dan mengejar ketinggalannya dari Barat. Sementara negara kita menganggap bawah satu-satunya solusi agar bisa mengejar ketinggalan dengan negara lain adalah menyesuaikan harga dengan harga internasional dan berhutang.

Internasionalisasi harga tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, terutama untuk komoditi-komoditi yang strategis, seperti migas, pendidikan, dan kesehatan. Lain halnya jika menyangkut mobil, elektronik, dan lain-lain, mungkin tidak ada masalah dan bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Tetapi jika menyangkut kepentingan yang strategis, negara berhak menentukan dan melakukan intervensi agar harga tidak selalu sesuai dengan harga internasional. Selama 20 tahun terakhir, harga internasional bukanlah mencerminkan "supply and demand" tetapi merupakan harga para spekulator keuangan yang mempermainkan harga-harga komoditi dunia. Sebagian besar dari pembentukan harga itu adalah permainan para spekulator, bukan hukum "supply and demand".  Jika Indonesia sekedar ikut-ikutan harga internasional, maka sebetulnya kita menyerahkan nasib kita kepada para spekulator internasional.

Tabel yang diajukan oleh Pembela tentang “pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 hanya menyangkut pengaturan kebijakan, pengelolaan, pengurusan, pengawasan, dikuasai oleh negara. Tidak ada istilah dimiliki karena yang paling penting sebetulnya pemiliknya, walaupun di dalam Undang- Undang Dasar 1945 kita sendiri dikatakan manfaatnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya siapa pemiliknya? Ya rakyat, secara tidak langsung, kalau tidak, buat apa digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi sesungguhnya didalam Pasal 33 itu secara implisit sudah ada kata "dimiliki" walaupun tidak eksplisit, sehingga sumber daya alam tersebut sebetulnya milik rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun