Salah satu program yang diangkat oleh Presiden terbaru Indonesia, Prabowo Subianto, adalah penguatan swasembada pangan. Beliau menargetkan Indonesia bisa swasembada pangan dalam jangka waktu tiga hingga empat tahun ke depan. Hal ini menggelitik saya untuk mencari tahu negara-negara mana saja yang pernah berhasil melakukannya. Sebuah informasi yang menarik bahwa ternyata salah satu negara yang berhasil melakukan swasembada pangan adalah Kuba. Sebagai negara komunis, Kuba menghadapi embargo perdagangan dari Amerika Serikat yang berpaham liberalis kapitalis. Embargo ini menyebabkan impor yang terkait kebutuhan nasional, termasuk pangan dan pupuk kimia yang penting bagi pertanian terhenti. Negara ini pun bergantung pada hubungan diplomatik politik dan ekonomi dengan Uni Sovyet. Sayangnya, pada tahun 1991, Uni Soviet runtuh dan pecah menjadi banyak negara kecil. Akibatnya Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro harus memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan pangannya tanpa bergantung pada pihak asing.Â
MUSIBAH MEMBAWA BERKAH
Kuba awalnya menjalin kerjasama impor pupuk kimia dan pestisida dengan Uni Soviet. Runtuhnya negara digdaya itu membuat Kuba harus mentransformasi diri agar melepaskan dari ketergantungan pupuk kimia. Situasi yang awalnya diasumsikan akan membawa musibah rawan pangan, ternyata  berdampak positif pada upaya Kuba untuk menerapkan praktek tanam organik. Ketiadaan pupuk kimia mendorong Kuba untuk menggunakan kompos organik dari bahan-bahan alami yang tersedia di lingkungan mereka sendiri. Tiada pestisida membuat para petani memanfaatkan kontrol nama biologis dan menerapkan sistem rotasi tanam untuk menjaga tingkat kesuburan tanah dan mengendalikan hama. Hasilnya, kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan kimia cukup rendah di Kuba.Â
INISIATIF AGRIKULTUR URBAN
Keterbatasan lahan membuat pemerintah memikirkan taktik tanam yang disebut organoponicos. Taktik ini memungkinkan warga untuk menumbuhkan tanaman di lokasi-lokasi terbatas, di atap rumah atau bangunan, dan di ruang urban yang lowong. Lahan-lahan terbatas ini memang menghasilkan produk yang terbatas, namun mampu untuk mencukupi kebutuhan komunitas lokal sekitar dan bonusnya adalah produksi tanaman masih segar, Â mengurangi biaya transportasi dan membangun ketahanan pangan warga hingga ke tingkat terendah di masyarakat.
PERUBAHAN TIPE AGRIKULTURÂ
Terbatasnya ketersediaan pupuk skala besar menyebabkan pertanian skala besar yang tadinya dimonopoli pemerintah berubah ke jenis agirikultur yang  ditangani individu atau kerjasama skala kecil. Meskipun Kuba merupakan negara yang berbasis sistem pemerintahan politik yang tersentralisasi karena komunis, kondisi keterbatasan akibat embargo ternyata justru memberikan kebebasan lebih luas untuk para petani dalam memutuskan apa yang mau ditanam dan apa yang mau dijual di pasar-pasar lokal, karena disesuaikan dengan kondisi lahan dan kesuburan masing-masing wilayah, dan tidak lagi ditentukan secara terpusat dari pemerintah di ibukota. Kuba meninggalkan budaya tanam dan makan satu jenis tanaman tunggal menjadi beraneka ragam jenis. Setelah ditanam tebu misalnya, sebuah lahan akan berganti ditanam jenis tanaman lain, seperti sayuran atau biji-bijian. Dalam jangka panjang, situasi ini meningkatkan produktifitas dalam skala nasional, sekaligus mendukung diversitas jenis pangan yang dikonsumsi rakyat.Â
PENTINGNYA EDUKASI
Edukasi menunjukkan peran pentingnya dalam mendorong masyarakat agar terus kreatif dan inovatif. Pemerintah memberikan dukungan kepada masyarakat melalui penyediaan pelatihan bagi para petani tentang cara praktek pertanian yang berkelanjutan. Sejumlah dana digelontorkan untuk meneliti agroekologi baik melalui lembaga pendidikan atau institusi pemerintah.Â
PARTISIPASI WARGA MENINGKAT
Kampanye tentang organoponicos terus digencarkan sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa menerapkannya, tidak terbatas hanya petani saja. Warga lokal dilatih tentang teknik berkebun dan teknik bercocok tanam berkelanjutan yang menggunakan bahan-bahan sederhana yang ada di sekitar rumah, murah, dan mudah diperoleh. Warga kian memahami peran mereka untuk turut berpartisipasi mandiri menanam tanaman di lingkungan sendiri, dan tidak tergantung hanya dengan konsumsi produk yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini mengurangi juga ketergantungan atas fluktuasi harga pangan di pasar.Â