Belum satu bulan menjabat, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu'ti pada bulan November tahun lalu mengeluarkan wacana bahwa kementeriannya siap merealisasikan program pelajaran matematika mulai dari jenjang TK. Terkait hal ini, mungkin kita bertanya-tanya. Perlukah anak usia dini di jenjang TK belajar matematika? Bukankah lebih baik mereka belajar bermain saja? Belajar menyanyi, menari, dan bermain bersama teman.Â
Ada rekan yang mengatakan, daripada harus belajar matematika, lebih baik anak TK diajarkan belajar mengantri. Buat apa anak Indonesia belajar matematika? Wong, ngantri juga belum bisa. Lebih baik belajar hal-hal yang dasar dulu. Jangan bermimpi muluk-muluk.
Di sinilah terletak pemahaman bangsa kita atas konsep matematika diuji. Bahwasanya matematika lebih dari sekedar kemampuan menghitung angka. Matematika juga mencakup kemampuan mengolah pola dan data, mengukur, serta mengenali bentuk dan ruang. Artinya untuk bisa mengantri, anak-anak harus mempelajari matematika.Â
Maksudnya begini. Kita akan mengantri di depan kasir toko buku. Ada tiga orang pembeli. Yang pertama boleh mengantri, adalah yang pertama kali hadir (first). Di belakangnya, baru pembeli yang kedua (second). Setelah itu, yang terakhir hadir berada di posisi urutan ketiga (third).Â
Pada skenario ini, anak-anak belajar konsep sederhana mengurutkan angka 1-2-3, serta pola bilangan, pertama, kedua dan ketiga. Mereka pun dapat belajar tentang konsep ruang, untuk tidak berdesakan saat mengantri. Harus mampu mengukur jarak antar pembeli. Sesederhana itu konsepnya. Namun sangat sulit terjadi pada kehidupan nyata. Inilah yang dimaksud dengan belajar matematika secara konseptual sesuai fungsi dasar matematika. Jika konsep matematika ini juga terintegrasi dengan karakter pelajar untuk berakhlak mulia, Insya Allah, insiden dan image orang Indonesia tidak bisa antri dapat kita perbaiki.Â
Prof. Abdul Mu'ti pernah membuat pernyataan bahwa, "Kita harus mengenalkan matematika kepada peserta didik dengan menjelaskan arti penting matematika. Dengan begitu mereka dapat menyadari makna mendalam dari matematika dan dampaknya untuk masa depan," paparnya. Melalui pembelajaran dengan skenario sederhana yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, diharapkan kita mampu menciptakan dampak belajar matematika yang lebih realistis.
Kita berharap "keseriusan" belajar matematika ini akan terealisasi. Dengan syarat, anak-anak yang belajar di pendidikan anak usia dini ini tidak akan belajar matematika secara tertulis dan dengan cara drilling, yang merupakan bentuk salah kaprah bahwa matematika hanya bisa dilakukan dengan cara itu. Usia dini belum belajar konsep penjumlahan dan pengurangan secara harfiah. Saya pernah melihat anak usia TK A dan B di Jakarta belajar matematika penjumlahan dengan cara tertulis. Dan lebih tragisnya, dilanjutkan dengan memberikan PR untuk dikerjakan di rumah. Bukan itu yang dimaksud.Â
Anak bisa menjadi trauma jika hanya dibenturkan dengan kemampuan kalkulasi yang belum sesuai umurnya. Karena sebenarnya matematika itu sangat menyenangkan jika mampu dibuat relevan sesuai kondisi alamiah subyek ini.Â
Matematika merupakan bahasa universal yang bisa membuat kita lebih memahami dunia di sekitar kita. Belajar matematika itu tidak sesempit hanya belajar tentang angka. Ada topik-topik lain yang perlu dibahas dalam belajar matematika selain angka (numbers), yaitu pengolahan data (data handling), pengukuran (measurement), pola teratur dan acak beserta fungsinya (patterns and functions). Dan semua materi ini bisa dieksplorasi melalui permainan yang menyenangkan, bermakna, sekaligus menantang bagi anak-anak, tanpa harus beradu kognitif untuk hafalan penjumlahan atau pengurangan yang belum cocok untuk usia mereka. Sebagai contoh, saat belajar makan makanan sehat, mereka bisa mengaitkan dengan matematika saat mengklasifikasi berapa siswa yang membawa buah pisang, berapa yang membawa buah apel, dan berapa yang membawa buah lainnya. Mereka bisa "menggambar" sederhana atau membuat susun kancing atau guntingan gambar.Â
Anak-anak usia 3-5 tahun, yang belajar di pendidikan anak usia dini baik pada institusi formal maupun informal, perlu belajar untuk mengembangkan pemahaman bagaimana segala informasi yang ada di sekitar mereka itu bisa dikenali, diidentifikasi, dan diorganisir agar membuat mereka lebih memahami kondisi yang terjadi di dunia ini. Semoga kebijakan belajar matematika sejak usia dini ini tidak membuat gegar budaya sehingga orang tua berlomba-lomba mengirimkan anaknya les matematika di luar sekolah karena ketakutan anaknya akan tertinggal secara materi. Sebaliknya, semoga orang tua bisa mendukung untuk menumbuhkan rasa cinta belajar matematika dan mengaitkannya dengan apa yang ada di rumah, misalnya dengan mengaitkan dengan konsep pengukuran waktu. Jam berapa waktu bangun pagi, jam berapa sudah harus mandi, berapa lama boleh menonton TV atau video daring, berapa kali boleh makan es krim dalam seminggu, dan lain sebagainya. Dengan demikian, belajar matematika ini akan bisa selaras dengan peningkatan kemampuan numerasi sebagai fondasi belajar tahap berikutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H