Hidup tak semudah membalikan telapak tangan, begitu pula dengan cinta seseorang. Didunia tempat yang kita tinggali, tak ada yang abadi. sama halnya dengan bunga yang akan mekar dan layu, seperi asap yang akan memudar. Tapi bagaimana dengan cinta?
Kehidupan sama halnya dengan permen yang menawarkan banyak rasa. Dalam perjalanan, aku telah menemui banyak orang. Hanya ada dua jenis manusia yang aku ketahui; yang pertama adalah manusia yang mengerti meski tanpa mengetahui dan yang kedua mengetahi tanpa mengerti. Dan mereka tak akan pernah tahu tanpa melihat kedalam hatinya.
Aku memang pernah mengalami suatu hal yang namanya depresi, atau sebut saja gangguan jiwa. Aku tak yakin apakah aku benar-benar gila karena aku tak pernah lupa bagaimana cara aku diperlakukan, aku berharap bahwa ada suatu keajaiban yang akan menghapus semua memoriku. Semuanya.
Bahkan ketika Ibu kandungku sendiri menelantarkan aku dan adik lelakiku, meski ia tahu bahwa pada saat itu adikku sedang sakit berat. Saat orang-orang itu memaksaku utuk meninggalkan orang-orang yang kucintai dan dengan sengaja memasukanku ke rumah sakit jiwa.
***
"Apa kita pernah saling mengenal?" sebelah tangan itu memegang bahuku ketika aku sedang membayar minuman, dari tatapanya berharap bahwa aku akan mengatakan 'Ya' dan yang kulakukan hanya diam menatapnya. Saat ia menyadari tatapan tajamku yang mengisyaratkan agar ia segera menyingkir, lelaki yang lebih tinggi satu kepala dariku menurunkan tangnnya. "Oh, maaf. Aku nggak sopan ya? Nggak papa kok kalau memang  enggak, aku cuma ngerasa..." Aku berbalik dan berjalan memunggunginya seraya mengabaikan perkataanya.
"Aku Vanno. Nama kamu siapa?" dengan sekejap mata ia sudah melesat didepanku. Mengejarku saat aku baru saja keluar dari pintu kafe.
Aku menatapnya dengan tatapan nanar, tetapi ia tak pernah berhenti tersenyum. Dan senyum itulah yang membuatku semakin terluka, "Kamu...dengar! Aku nggak pernah kenal sama kamu. Dan aku sama sekali nggakmau kenal sama kamu."
"Kenapa?" suaranya pelan, tatapannya melembut.
"Karena aku benci bersentuhan, aku benci menyebut namaku sendiri, aku benci bila harus bicara pada orang lain dan aku tak nggak suka kalau harus mengulurkan tangan. Jadi, lupakan saja." Kini aku benar-benar berlalu tanpa ia mengejarku.
***