Musik favoritku baru saja diputar ketika secangkir kopi pesananku datang. Kuhirup perlahan kopiku sambil menikmati alunan musik. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis memasuki pintu kafé,menyadari bahwa dia adalah seseorang yang kukenal, aku segera menutup wajahku dengan buku menu dengan niat bersembunyi. Lalu matanya menjelajah ke seluruh sisi ruangan.
Aku mengintip dari balik buku itu, dia tersenyum manis ketika melihatku. Ahh, rasanya benci melihat dia dengan senyum itu. Lagi-lagi aku ketahuan. Kututup buku menu itu dan meletakannya kembali di atas meja, lalu wanita itu datang menghampiriku.
“Hey Gan!” teriak gadis itu dengan suara lantang hingga membuat beberapa pengunjung lainya melihat kearahku. Bukannya membalas sapaanya, aku malah mendengus kesal. Dia ini seperti hantu. Kapanpun dan dimanapun aku berada, dia selalu saja tiba-tiba muncul.
“Memangnya siapa yang kamu panggil dengan sebutan Gan itu?” tanyaku dengan nada sinis.
Ia hanya mengangkat bahunya, “Itu cuma panggilan sayang kok.” katanya sembari memanggil pelayan untuk memesan secangkir kopi yang sama denganku.
Aku memandang wanita yang sedang duduk di depanku. Diara adalah gadis cantik yang memiliki banyak penggemar dikalangan pria. Ia cerdas dan kaya raya. Lihat saja pakaian yang dikenakannya sekarang, Dress putih dengan dandanan super modis, sepatu tinggi, serta kacamata hitamnya dinaikan diatas kepala sehingga poninya terangkat dan menampakan wajahnya yang imut.
Itulah satu-satunya alasan yang membuatku terkadang merasa heran. Ia memiliki segalanya dan dapat berkencan dengan siapapun yang diinginkannya. Ia juga memiliki banyak teman jika hanya ingin sekedar mencurahkan isi hatinya. Tapi mengapa aku? mengapa hanya aku yang menjadi target gangguannya?
“Ken!” teriak gadis itu membuyarkan lamunanku. Sebelah alisnya terangkat, “Dari tadi kamu nggak dengerin curhat aku?” tanyanya jengkel. Aku hanya menggeleng pelan dan membuanya semakin merajuk.
***
Udara malam yang dingin menusuk kulitku ketika kami sedang berada dalam mobil dari mall menuju kerumah Diara. Aku menoleh pada gadis itu yang sedang menelpon kekasihnya. Dia tersenyum, aku cembut. Mengapa aku mau mengantarnya pulang pergi berbelanja? tuturku kesal dalam hati.
“Seharusnya kamu menyuruh Kris datang.” ocehku tanpa melihat kearahnya, “Apa yang nantinya akan dikatakan orang-orang jika melihat aku mengantar kamu pulang setiap malam?” kataku pada diri sendiri sambil mendesah walaupun aku yakin dia mendengarnya karna aku berbicara dengan cukup keras.
“Tentu saja mereka akan berpikir kalau kamu adalah keksihku.” Dia terkekeh tanpa melihat kearahku, “Ken, gaun yang ini cantik ya?” Tanyanya smabil menyodorkan ponselnya padaku, dilayarnya muncul gambar gaun pernikahan yang baru kemi lihat tadi.
“Hmm.” Jawabku agak malas. Dan aku tahu kalau dia tahu bagaimana perasaanku.
***
Berat rasanya membuka mata ketika aku baru saja terbangun. Aku duduk ditangga dan menutup mulutku saat aku menguap. Melihat Kris yang sedang mondar-mandir, aku menegurnya.
“Heh, Kris!” teriakku pada pria itu. Kris adalah kakak lelakiku Ia mendongak dengan nampan ditangnnya. Dia malah tersenyum dan berkata,
“Oh iya, aku ingat,” sergahnya dengan suara keras membuatku terkejut. “Kalau nanti dia datang, bilang aku akan segera kembali.” Aku mengernyit, ia bergegas pergi dan suaranya menghilang di balik pintu keluar.
“Ken!” Aish, gadis itu lagi. Aku menggaruk-garuk kepala dan bersikap cuek. Ia menaiki beberapa anak tangga dan duduk disebelahku.
“Baru bangun? Dima Kris?” Tanya Diara, ia menyapu pandanganya ke seluruh ruangan mencari sosok kakakku.
“Pergi.” Jawabku malas. Tapi dia tidak perduli, ia malah tersenyum manis padaku.
“Walaupun baru bangun tidur, kamu tetap cakep ya.” Ia mencubit pipi kiriku sambil tersenyum nakal meledekku. Tangannya begitu dingin dikulitku, Dia hanya mencubitku sekali, namun apa rasanya memang sesakit ini? Pikirku dalam hati sembari menatap mata hitamnya.
“Heh!” aku membentaknya, kusingkirkan segera tangannya dari wajahku dan menekankan telunjuku dikeningnya, “Kenapa tidak urus saja urusan kamu sendiri? Hah!” Aku mengisyaratknya agar ia segera menjauh. Gadis itu tertawa, bukannya pergi ia malah mengacak-acak rambutku sehingga membuatku semakin jengkel.
“Dasar nakal…”
Diara berlari ketika aku ingin membalasnya, tepat pada saat itu Kris datang dengan membawa kantung belanjaannya. Gadis itu bersembunyi dibalik kakakku sambil menjulurkan lidah padaku. Mata Kris membesar melotot kearahku, mengisyaratkanku untuk berhenti.
“Ya, aku benar-benar ganteng kan?” aku mengangguk-angguk pasrah, “Anggap saja aku kalah.” Aku memaksakan senyum singkat. lalu beranjak pergi meninggalkan mereka brdua dengan kekesalan yang semakin menjadi-jadi.
***
Aku dan Kris duduk didalam mobil ketika kami menunggu di halaman rumah Diara yang tengah bersiap-siap.Kris terlihat bahagia, sepanjang hidupku aku baru tahu bahwa ada kebahagian yang seperi itu. Ketika Diara datang, Kris mengisyaratkanku untuk pindah duduk di jok belakang. Aku menurutinya dan tepat pada saat itu posisi dudukku diambil alih oleh gadis yang menyebalkan itu.
Hari ini adalah hari yang menyakitkan bagiku, dan masih akan ada satu hari lagi yang lebih menyakitkan. Namun aku terlalu bahagia untu menangis. Bagiku, mungkin ini adalah akhir dari segalanya—
Kami pergi untuk memilih satu diantara beberapa cincin pernikahan. Namun sepertinya Kris menyadari kejenuhanku, “Aku penasaran, apa adiku merasa bahagia?” tanyanya Kris meledeku, aku tersenyum geli mendengarnya, mengetahui pertanyaan itu adalah upaya untuk menghiburku, namun dia terlalu canggung sehingga tidak bisa memilih kata-kata yang pas. Diara, yang mendengar kata-kata Kris sontak mendongak dan melihat kearahku. Mata kami saling bertatapan, namun tak ada respon darinya dan aku yakin ia sedang tak ingin membuatku kesal.
“Hey, kalau aku salah sangka. Bisa-bisa aku tersinggung dengan kata-kata itu.” Aku merengut, kemudian aku mendesah ketika tanganku terangkat untuk merangkul bahunya. “Kamu orang yang baik, dan aku selalu berdo’a untuk kebahagiaanmu.” tuturku pada Kris tanpa melihat kearahnya. Meski begitu aku dapat merasakan senyumnya mengembang. Tapi bukan orang itu, bukan dia yang selalu bersembunyi dibalik senyumnya. Sekali lagi mataku dan gadis itu bertemu.
***
Mataku tertuju pada gaun yang sedang gadis itu kenakan, ia selalu cantik dimataku terutama dengan balutan gaun putih ditubuhnya. Aku tak ingat, kapan terakhir kali kami tertawa bersama, menghabiskan waktu sepulang sekolah bersama-sama, aku lupa.
Kini aku melihatnya tersenyum, entah senyum yang bagaimana, aku tak melihat dirinya yang sekarang seperti gadis yang selalu ceria seperti biasanya. Namun yang paling mencolok dimataku adalah liontin yang ia kenakan, sebuah hadiah yang pernah kuberikan. Aku heran, ia tak pernah memakainya sebulumnya dan mengapa harus hari ini?
Aku berdiri tepat dibawah tangga, masih terpaku dengan kecantikannya. Mata kami bertemu, ia tersenyum. Aku membalas senyumnya, dan tak lama lagi pesta pernikahan akan segera dimulai.
“Kenno?” suara lembutnya memanggil namaku. Air mataku tiba-tiba saja jatuhdengan cepat melewati pipiku. “Gimana, cantik nggak?” aku mengiyakan dan memberikan dua jempol kepada Diara.
“Bohong.” Senyumnya memudar.kemudian ia turun selangkah untuk memeluku, aku membalas pelukanya sambil berkata, “Tidak, aku tidak pernah bohong.” dia tertawa dalam pelukanku, entah mengapa sentuhan gadis itu membuat rasa sakitnya sangat memenuhi hatiku, dan membunya terasa sesak—
Ketika aku melihat mereka berdiri berdampingan di atas pelaminan, Diara dan Kris tersenyum memandangku yang duduk di kursi sambil memainkan piano. Aku tersenyum kembali membalas senyuman yang mereka lemparkan padaku. Namun kali ini diiringi dengan air mata yang menggantung di pelupuk mataku dan membuatnya bertambah perih. Aku terlalu bahagia untuk menangis, menagis karna bahagia dan menagis sebagai hadiah penyesalan. Betapapun aku menyadari bahwa kebodohankulah yang membuat luka itu menjadi-jadi, dan akulah yang membuat diriku merasa sakit. Karna aku membiarkan gadis yang kucintai berdampingang dengan seorang yang kusayangi. Dan aku hampir saja menyadari, betapapun aku menyesal, tak akan ada lagi artinya bagiku karna derita sakit yang kualami baru saja dimulai.
Catatan harian ke-231:
Bunda, suatu hari seorang wanita datang dalam kehidupanku yang kacau. Aku terlalu sering menyakitinya dengan menggunakan banyak kata-kata kasar untuk mendorongnya sejauh mungkin. Namun ia selalu datang padaku, mencariku tiap kali ia merasa bersedih. Tiap kali ia merasa bahagia ia selalu berusaha untuk membagikannya padaku. Aku merasa ia sangat mirip denganku, terkadang aku melihat diriku sendiri dalam dirinya. Air mata yang jatuh dari matanya, juga memenuhi hatiku. Dulu akulah yang membuat penolakan terhadap cintanya untuk seseorang, akulah satu-satunya orang yang membuatnya terluka dan menagis. Aku benar-benar bersalah, tak seharusnya kubiarkan ia masuk dalam kehidupanku.
Bunda, aku menyesal. Seumur hidupku, inilah pertama kalinya aku merasa menyesal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H