Dia memang bukanlah dia yang dulu pernah ada. Aku tak melihat dirinya seperti dia yang pernah kukenal. Tetapi dialah yang mengantarku kembali ke masalalu. Dan dia datang dengan membawa pesan cintanya dari masa lalu.
Laki-laki itu duduk tepat di bangku sebelahku setelah ia memperkenalkan dirinya didepan kelas. Ia tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Entah dimana aku pernah melihat mata yang seperti itu, mata yang sering kali kulihat didalam mimpiku.
Aku sama sekali tak mengapiknya, namun aku tak bisa mengabaikan keberadaanya, karna aku merasa ada sesuatu hal yang tak beres tentang hatiku mengenai dirinya. Aku benci perkenalan, dan kini aku harus duduk bersebelahan dengan seseorang yang sebenarnya tak ingin kukenal. Jujur saja aku sangat terganggu, tiap kali mata kami bertemu ia selalu tersenyum, aku tak tahu apa yang ia tertawakan dariku tapi itu cukup untuk membuatku merasa kesal.
Dua tahun berlalu sudah sejak kali pertama aku memimpikan mata itu, seminggu setelah aku bertemu dengan si dia. Tak tahu bagaimana cara menghentikan mimpi itu karna meskipun penasaran, akupun sudah cukup bosan.
"Luna?" Ini adalah kali pertama dia memanggil namaku, laki-laki yang bernama Rayen itu sudah berdiri tepat di depanku, yang sedang duduk di bangku ruang perpustakaan. Aku mendongak padanya tanpa menjawab panggilannya, "Bisa bicara sebentar?" aku mengacuhkannya dan melanjutkan bacaanku. "Aku pengen wawancara."
Belum lama ini, Rayen terpilih menjadi anggota pengurus mading sekaligus majalah sekolah, aku tahu karena aku hanya mendengar mereka-mereka yang membicarakannya.Tetapi aku tak tahu mengapa ia ingin mewawancaraiku, "Wawancara apaan?" Aku merasakan keningku berkerut, bukan karena bingung. Hanya saja rasanya seperti aneh.
"Loh, bukannya kamu termasuk salah satu siswi yang kerpilih ikut lomba olympiade Sains?" Kini dialah yang merasa bingung. Aku terkekeh sembari menjawab, "Maaf. Kamu salah orang." Kemudian aku berdiri berniat meninggalkannya. Tiba-tiba sebelah tanganya menarik lenganku, dan perasaan aneh itu muncul lagi ketika mata kami bertemu. "Jadi...kamu nggak mau diwawancara?" Nadanya berubah tinggi. Aku menyentakan tanganku, sekejap saja tatapanku berubah nanar padanya.
"Nggak." Kemudian aku pergi begitu saja.
Di kelas, Rayen berasikap dingin padaku. Bahkan ia meminta pada teman yang didepan untuk bertukar tempat. Sementara itu, Bu Lidya berusaha keras meyakinkanku agar aku mau mengikuti olympiade Sains itu. Aku bahkan tidak mendaftarkan diri, aku tak tahu mengapa namaku juga termasuk dalam daftar, dan aku tetap pada pendirianku dan menolak mentah-mentah tawaran dari Bu Lidya.
"Lun, ada telpon tuh." Kata kakakku Rafa, sambil duduk di sebelahku, "Malam-malam gini, ganggu aja." Celotehnya.
Aku berdiri dan meraih gagang telpon, "Halo?" Kataku pelan. Tidak ada respond sama sekali, berkali-kali kubilang halo,halo,halo, tetap saja tak ada jawaban. Aku berpikir bahwa ini hanya orang iseng, kemudian aku menutup telponnya.